Post by Helmi Yani. Azn on May 10, 2016 17:44:43 GMT 7
Setelah beberapa waktu lalu kami melakukan tanya-jawab bersama Dee Lestari, kali ini kami melakukan tanya-jawab bersama Bernard Batubara. Alasan kenapa kami menampilkan tanya-jawab bersama penulis adalah karena kami yakin bahwa tanya-jawab tersebut berguna bagi kita yang ingin terjun ke dunia tulis-menulis. Dari tanya-jawab itu kita akan mendapatkan banyak sekali masukan dan inspirasi yang bermanfaat tentang kepenulisan.
Oke, simak tanya-jawab kami bersama Bernard Batubara di bawah ini. Semoga bisa memberikan manfaat!
Apakah kamu punya tempat khusus untuk menulis? Kalau punya, di mana dan kenapa? Kalau tidak punya, kamu lebih sering menulis di mana?
Kafe dan kamar indekos adalah dua tempat yang paling sering jadi ruang kerja saya. Tapi di antara keduanya, saya lebih sering menulis di kafe. Alasannya karena sesuatu yang baru saya sadari belum lama ini: saya tidak bisa menulis di tempat yang terlalu sepi dan hening, karena saya bisa cepat mengantuk. Kamar indekos bikin saya mengantuk, tapi kadang-kadang kalau tengah malam saya dapat dorongan untuk menulis dan pada jam-jam tersebut tidak mungkin lagi untuk pergi keluar, saya membuka laptop dan mulai menulis di kamar. Tentang kafe, saya merasa kafe menyediakan apa yang saya butuhkan, yaitu suara-suara yang hanya menjadi latar, tidak terlalu riuh dan juga tidak hening. Suara-suara latar itu saya butuhkan untuk menjaga agar pikiran saya tetap bekerja, membuat saya terhindar dari rasa bosan dan mengantuk, dan menyediakan sesuatu buat saya lihat kalau saya sedang buntu menulis cerita dan butuh distraksi atau sesuatu yang sejenak dapat mengalihkan perhatian saya dari naskah.
Setiap orang pasti memiliki penulis favoritnya masing-masing. Sebutkan 3 penulis Indonesia favoritmu. Apa yang bisa kamu pelajari dari karya-karya mereka?
Eka Kurniawan, Yusi Avianto Pareanom, dan A. S. Laksana. Gaya menulis mereka asyik. Dari Yusi dan Mas Sulak saya belajar sesuatu yang penting dari usaha menulis sebuah cerita, yaitu bahwa cerita tetaplah cerita. Artinya, betapapun serius dan pentingnya isu atau wacana atau gagasan yang ingin disampaikan melalui sebuah cerita, cerita itu sendiri tetap harus menarik, membikin pembaca penasaran, karena hanya dengan demikian mereka tetap membaca apa yang kita tulis, dan gagasan apapun yang ingin kita sampaikan kepada siapapun hanya berhasil tersampaikan jika mereka terus membaca apa yang kita tulis. Seperti Raja Syahriar yang menunda memenggal kepala Syahrazad karena penasaran pada lanjutan ceritanya, Yusi dan Mas Sulak mengingatkan saya bahwa tugas terbesar seorang penulis cerita adalah membuat orang-orang mendengar terus ceritanya. Tentang Eka, saya mengadopsi semangat bereksplorasi darinya. Tidak pernah penulis itu berhenti mencari gaya menulis yang segar dan belum pernah ia lakukan. Dari novel ke novel ia selalu menampilkan gaya menulis dan bentuk cerita maupun narasi yang baru. Kreativitas seorang penulis tamat ketika ia merasa sudah menemukan bentuk terbaik dari caranya menulis dan berhenti melakukan eksplorasi ataupun eksperimen. Eka memperlihatkan semangat eksplorasi itu dengan baik lewat tulisan-tulisannya, terutama novel-novelnya.
Kalau boleh menambah satu lagi, saya suka tulisan-tulisan Linda Christanty. Dari tulisan-tulisan nonfiksi Linda saya disadarkan kembali bahwa narasi yang baik adalah narasi yang jernih.
Mungkin ini pertanyaan klise, tapi kami betul-betul ingin tahu. Pernahkah kamu mengalami writer’s block? Bagaimana kamu mengatasinya?
Saya menganggap writer’s block adalah suatu kondisi yang dapat dibedah. Apa yang menyebabkan seorang penulis mentok sebetulnya bisa dicari tahu. Saya kira setidaknya ada dua penyebab hal semacam itu bisa terjadi. Pertama persoalan teknis, kedua persoalan psikis. Persoalan teknis ini maksudnya kurang materi atau bahan untuk menggarap tulisan. Solusinya adalah melakukan riset lebih dalam, berdiskusi dengan orang yang bisa dipercaya, dan menggali lagi ide dasar tulisan dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau persoalan psikis, kaitannya dengan kondisi perasaan, mental, atau pikiran. Ini bukan masalah teknis menulis, tetapi lebih kepada bagaimana cara menyiapkan diri sendiri untuk mulai lagi. Kalau sedang merasa tidak ada dorongan menulis, saya tidak akan memaksakan diri. Saya akan melakukan hal-hal lain yang saya sukai selain menulis. Menonton film, mendengarkan musik, bermain gitar, membaca buku, atau mengobrol dengan pacar atau teman. Tidak lama setelahnya biasanya pikiran saya sudah segar, perasaan saya membaik, dan dorongan menulis itu datang kembali.
Kamu tentu sering membaca buku-buku bagus, tapi kami juga yakin kamu pasti tentu pernah juga membaca buku-buku jelek. Tolong sebutkan satu buku jelek yang pernah menyia-nyiakan waktu hidupmu dan kamu ingin melemparkan buku itu keluar jendela. Kenapa?
Saya justru akan melemparkan buku ke dinding kamar jika buku itu bagus sekali. Ha, ha, ha. Saya rasa kebanyakan pembaca pernah berhadapan dengan buku yang menyebalkan. Saya juga pernah. Tetapi tidak penting apa dan siapa yang menulis bukunya. Saya kira yang lebih penting adalah bahwa buku jelek juga bisa memberi pelajaran baik bagi seorang pembaca maupun penulis. Bagi pembaca, buku jelek memberinya peringatan untuk lebih berhati-hati dalam membeli buku. Sedangkan bagi penulis, buku jelek memberinya inspirasi agar tidak menulis dengan cara seperti yang ia lihat di buku itu.
Menurutmu, kriteria buku bagus dan buku jelek itu seperti apa?
Formula saya sederhana. Saat membaca buku bagus, saya akan mengumpat dengan spontan. Semakin banyak umpatan yang saya keluarkan, semakin bagus buku itu bagi saya. Kadang-kadang saya tidak bisa benar-benar menguraikan apa yang membuat saya mengatakan bahwa buku itu adalah buku bagus. Tapi saya tetap berusaha menjelaskan hal-hal apa yang bagi saya menarik di buku itu. Saya akan menuliskan catatan pendek tentang pembacaan saya dan saya unggah di blog (http://bisikanbusuk.com)
Buku bagus adalah buku yang ditulis dengan baik. Penulisnya sadar bahwa ada pembaca yang harus ia jaga rasa penasarannya. Ia berusaha agar ceritanya tidak membosankan atau bikin mengantuk. Ini berarti persoalan teknik menulis. Ada hal lain juga: tngkat kepentingan. Buku bagus adalah buku yang memiliki tingkat kepentingan tinggi. Buku bisa saja punya cerita menarik tetapi tidak punya urgensi, dibaca atau tidak takkan mempengaruhi banyak hal dalam diri kita. Buku harusnya menjadi kapak yang memecahkan laut membeku dalam kepala kita, begitu kata Kafka. Itu ada benarnya meski saya tidak sepenuhnya bersepakat dengan Kafka. Itu sebabnya saya sesekali berkomentar di kanal-kanal media sosial tempat saya mengunggah foto buku yang sedang baca dengan kalimat-kalimat seperti “Ini buku bagus” atau “Ini buku penting”. Ada buku bagus yang tidak penting, ada buku penting yang terasa membosankan, tetapi penting untuk dibaca. Buku bagus tidak selalu penting dan buku penting tidak selalu seru. Ada buku yang bagus sekaligus penting, ini yang terbaik dari semua.
Kalau buku jelek, tentu saja berarti kebalikan dari itu-tidak bagus dan tidak penting.
Kami sering mampir ke BisikanBusuk.com. Kami lihat kamu sangat produktif membaca. Sebenarnya, apa manfaat terbesar membaca bagi seorang penulis?
Mengetahui ada banyak cara menulis buku bagus. Ada banyak cara menuliskan suatu gagasan. Camus menulis The Stranger yang tipis dengan plot linear dan tanpa permainan teknik yang heboh, tetapi itu tetap buku bagus. Pamuk menulis My Name Is Red dengan eksplorasi sudut pandang penceritaan yang luar biasa dan cerita berbingkai dengan narasi padat, itu juga buku bagus. Cakrawala jadi luas seiring banyak membaca buku bagus. Buku bagus tidak hanya yang begini atau hanya yang begitu. Tidak ada pakem yang wajib dipatuhi semua penulis jika ia ingin menulis buku bagus. Seseorang juga menjadi tahu bahwa tema ini atau itu ternyata juga bisa diangkat, sudut pandang itu ternyata juga bisa dibeginikan, dialog dan narasi dan deskripsi ternyata juga bisa ditulis dengan cara seperti ini atau seperti itu. Membaca buku juga bisa membuat seorang penulis menyadari apa yang seharusnya ia tulis karena hanya dirinya yang bisa menuliskan hal itu.
Dalam sebulan, kamu sanggup membaca berapa buku?
Tidak bisa menjawab ini dengan pasti. Kadang satu buku selesai saya baca dalam beberapa hari, kadang pula beberapa minggu. The Satanic Verses sampai tiga bulan belum kelar juga dan akhirnya saya kembalikan ke rak dan entah kapan saya baca lagi-tapi saya berniat untuk tetap melanjutkannya suatu hari nanti. Pada bulan-bulan tertentu saya bisa membaca lima hingga enam buku. Kadang lebih sedikit. Di bulan-bulan lain saya bisa hanya membaca satu buku dan itupun belum selesai.
Apakah kebanyakan fiksi?
Iya, kebanyakan fiksi, kumpulan cerita maupun novel. Kadang-kadang saya membaca buku kumpulan puisi, dan meski tidak sesering buku fiksi, saya juga membaca buku nonfiksi.
Kenapa kamu menyukai dunia fiksi?
Saya kira hal utama yang saya senangi dari berhadap-hadapan dengan dunia fiksi adalah kesadaran bahwa semua itu rekaan. Sesuatu yang dikarang. Dan yang menakjubkan adalah di dalam karangan itu terselip satu-dua fakta. Pada awalnya saya mengira kebebasan mencipta yang disediakan dunia fiksi membuat dunia tersebut hadir lebih fantastis ketimbang dunia nyata, tetapi saya keliru, karena dunia nyata ternyata jauh lebih absurd dan sulit dimengerti dengan logika paling tajam dan jernih sekalipun. Sewaktu kecil saya menyukai dunia fiksi dalam novel-novel fantasi dan komik karena saya ingin kabur sebentar dari dunia nyata yang membosankan, tetapi pada akhirnya cerita-cerita fiktif itu yang di kemudian hari menggandeng saya kembali ke kenyataan.
Fiksi adalah mengatakan kebohongan demi kebohongan demi kebohongan untuk mengungkap sekelumit kebenaran. Sensasi menyimak kebohongan demi kebohongan itu yang saya nikmati. Saya tahu hal ini dan itu dalam suatu cerita merupakan rekaan semata, sembari saya tahu bahwa hal-hal tertentu adalah hal faktual, sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Semua elemen yang membuat suatu tulisan menjadi fiksi-perwatakan, dialog-dialog, narasi, deskripsi, plot, konflik-semuanya menjadi bagian dari kenikmatan saya terhadap fiksi.
Kamu telah menerbitkan buku puisi, novel, dan cerpen. Di antara ketiga hal itu, mana yang paling kamu cintai sepenuh hati dan apa alasannya?
Tentu saja saya tak akan menulis apapun kalau saya tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Saya belajar hal berbeda dari masing-masing bentuk tulisan itu. Kenikmatan yang saya dapatkan pun berbeda. Itu sebabnya saya tidak menulis yang satu dan berhenti menulis yang lain. Saat menulis cerita pendek, saya juga sedang menggarap novel begitupun sebaliknya. Saya memulai karir menulis saya dengan puisi, meski sekarang ini saya sudah jarang menulis puisi. Semuanya memberi saya kesenangan tersendiri. Novel memberi saya ruang luas untuk bercerita tentang banyak hal. Cerita pendek menyediakan kamar sempit dengan satu-dua hal menarik di dalamnya. Puisi menemani saya merenungi hal-hal yang tadinya hanya saya pikirkan sekilas.
Tolong sebutkan 5 kata dalam bahasa Indonesia yang menurutmu paling indah.
Melankoli. Manipulatif. Mukjizat. Mahligai. Halimun.
Jika kamu bertemu dengan Anton Chekhov dan Haruki Murakami, siapa yang lebih dulu kamu sapa? Kenapa? Lalu, pertanyaan apa yang ingin kamu ajukan untuk mereka berdua?
Saya rasa saya tidak akan menyapa mereka sama sekali. Saya hanya akan melihat mereka dari jarak yang cukup aman dan tidak dapat terlihat oleh mereka. Jarang sekali saya menyapa orang yang tidak saya kenal, apalagi yang tidak mengenal saya. Kalau mereka sedang sendirian, saya hanya akan memperhatikan mereka. Kalau mereka sedang berbincang, mungkin saya akan mencari tempat yang bisa memungkinkan saya mendengar apa yang mereka bicarakan. Kalau di situasi tertentu saya terlibat dalam percakapan mereka dan mereka mengizinkan saya bertanya, saya akan bertanya: apa kalian takut kodok?
Pendapat kamu tentang website komunitas penulis-dalam hal ini contohnya adalah Sipenulis.com-seperti apa? Apakah website semacam itu bagus untuk penulis atau justru sebaliknya?
Tahun 2007 ketika saya mulai menulis dengan lebih serius, saya bergabung dengan website forum penulis pemula kemudian.com. Saya tidak tahu apa-apa dan hanya punya modal kesenangan menulis. Di sana banyak orang yang bagi saya waktu itu orang-orang hebat karena tulisannya bagus-bagus. Atmosfer di sana juga menyenangkan karena begitu cair, setiap pengguna saling berbalas komentar (karena sistem di website tersebut mengharuskan penggunanya saling berkomentar) dan saya kira hal itulah yang membuat saya bersemangat menulis di masa-masa itu.
Saya tidak begitu cocok dengan komunitas karena saya selalu ingin bebas dan tidak mau terikat hanya pada satu kelompok. Lagipula, pekerjaan menulis pada akhirnya adalah pekerjaan yang sepi. Berkenalan dengan sebanyak apapun orang, sesering apapun berkumpul dengan penulis-penulis lain, pada akhirnya seseorang akan menemukan dirinya sendirian, berhadap-hadapan dengan laptop atau pulpen dan kertasnya sendiri.
Kendati demikian, saya percaya komunitas punya dampak positif terhadap penulis-penulis baru, terutama mereka yang tidak punya rasa percaya diri cukup dan tidak punya teman berbagi. Saya termasuk orang-orang itu. Pada awalnya, saya tidak punya rasa percaya diri cukup dan tidak punya teman berbagi yang tertarik dengan dunia tulis-menulis, sampai akhirnya saya bertemu website kemudian.com dan bertemu banyak orang yang memiliki kegemaran sama dengan saya, dan itu membuat saya senang dan semakin bersemangat. Itu, saya kira, adalah modal awal saya saat memutuskan untuk menulis lebih serius lagi.
Mereka yang tergabung dalam Sipenulis.com kebanyakan adalah penulis muda. Apakah kamu punya semacam nasihat untuk mereka yang ingin berdarah-darah menapaki jalan kepenulisan?
Jangan lakukan apa yang sebenarnya bisa untuk tidak kamu lakukan. Artinya, jangan menulis kalau sebenarnya kamu akan baik-baik saja tanpa menulis. Dan tentu saja satu hal yang tak mungkin bosan saya katakan: banyak membaca.
Oke, Bernard. Terima kasih banyak atas kesempatan ini. Sukses selalu.
Terima kasih sudah mengajak ngobrol. Sukses juga untuk website-nya.[]
________________
Bernard Batubara (Bara) lahir 9 Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat. Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak pertengahan tahun 2007. Puisi dan cerita pendeknya dimuat di majalah budaya, surat kabar lokal dan nasional, serta termuat di beberapa antologi bersama penulis lain.
Buku Bara yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM(2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth(2014), Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014), dan Jika Aku Milikmu (2015). Radio Galau FM dan Kata Hati kini telah menjadi film layar lebar, diproduksi oleh Rapi Films.
Bara menjadi pembicara di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2013, penulis terpilih Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2013, dan bicara diAsean Literary Festival (ALF) 2015. Selain bekerja sebagai penulis penuh-waktu, juga mendirikan kelas menulis bernama Kopdar Fiksi, dan memenuhi undangan untuk bicara tentang penulisan kreatif di kampus dan komunitas.
Saat ini, Bara sedang mempersiapkan buku terbarunya. Sebuah kumpulan cerita.
t: @benzbara_
e: benzbara@gmail.com
fanpage: Bernard Batubara
(Profil Bernard Batubara kami dapatkan dari blog http://www.bisikanbusuk.com)
sumber: sipenulis.com
Oke, simak tanya-jawab kami bersama Bernard Batubara di bawah ini. Semoga bisa memberikan manfaat!
Apakah kamu punya tempat khusus untuk menulis? Kalau punya, di mana dan kenapa? Kalau tidak punya, kamu lebih sering menulis di mana?
Kafe dan kamar indekos adalah dua tempat yang paling sering jadi ruang kerja saya. Tapi di antara keduanya, saya lebih sering menulis di kafe. Alasannya karena sesuatu yang baru saya sadari belum lama ini: saya tidak bisa menulis di tempat yang terlalu sepi dan hening, karena saya bisa cepat mengantuk. Kamar indekos bikin saya mengantuk, tapi kadang-kadang kalau tengah malam saya dapat dorongan untuk menulis dan pada jam-jam tersebut tidak mungkin lagi untuk pergi keluar, saya membuka laptop dan mulai menulis di kamar. Tentang kafe, saya merasa kafe menyediakan apa yang saya butuhkan, yaitu suara-suara yang hanya menjadi latar, tidak terlalu riuh dan juga tidak hening. Suara-suara latar itu saya butuhkan untuk menjaga agar pikiran saya tetap bekerja, membuat saya terhindar dari rasa bosan dan mengantuk, dan menyediakan sesuatu buat saya lihat kalau saya sedang buntu menulis cerita dan butuh distraksi atau sesuatu yang sejenak dapat mengalihkan perhatian saya dari naskah.
Setiap orang pasti memiliki penulis favoritnya masing-masing. Sebutkan 3 penulis Indonesia favoritmu. Apa yang bisa kamu pelajari dari karya-karya mereka?
Eka Kurniawan, Yusi Avianto Pareanom, dan A. S. Laksana. Gaya menulis mereka asyik. Dari Yusi dan Mas Sulak saya belajar sesuatu yang penting dari usaha menulis sebuah cerita, yaitu bahwa cerita tetaplah cerita. Artinya, betapapun serius dan pentingnya isu atau wacana atau gagasan yang ingin disampaikan melalui sebuah cerita, cerita itu sendiri tetap harus menarik, membikin pembaca penasaran, karena hanya dengan demikian mereka tetap membaca apa yang kita tulis, dan gagasan apapun yang ingin kita sampaikan kepada siapapun hanya berhasil tersampaikan jika mereka terus membaca apa yang kita tulis. Seperti Raja Syahriar yang menunda memenggal kepala Syahrazad karena penasaran pada lanjutan ceritanya, Yusi dan Mas Sulak mengingatkan saya bahwa tugas terbesar seorang penulis cerita adalah membuat orang-orang mendengar terus ceritanya. Tentang Eka, saya mengadopsi semangat bereksplorasi darinya. Tidak pernah penulis itu berhenti mencari gaya menulis yang segar dan belum pernah ia lakukan. Dari novel ke novel ia selalu menampilkan gaya menulis dan bentuk cerita maupun narasi yang baru. Kreativitas seorang penulis tamat ketika ia merasa sudah menemukan bentuk terbaik dari caranya menulis dan berhenti melakukan eksplorasi ataupun eksperimen. Eka memperlihatkan semangat eksplorasi itu dengan baik lewat tulisan-tulisannya, terutama novel-novelnya.
Kalau boleh menambah satu lagi, saya suka tulisan-tulisan Linda Christanty. Dari tulisan-tulisan nonfiksi Linda saya disadarkan kembali bahwa narasi yang baik adalah narasi yang jernih.
Mungkin ini pertanyaan klise, tapi kami betul-betul ingin tahu. Pernahkah kamu mengalami writer’s block? Bagaimana kamu mengatasinya?
Saya menganggap writer’s block adalah suatu kondisi yang dapat dibedah. Apa yang menyebabkan seorang penulis mentok sebetulnya bisa dicari tahu. Saya kira setidaknya ada dua penyebab hal semacam itu bisa terjadi. Pertama persoalan teknis, kedua persoalan psikis. Persoalan teknis ini maksudnya kurang materi atau bahan untuk menggarap tulisan. Solusinya adalah melakukan riset lebih dalam, berdiskusi dengan orang yang bisa dipercaya, dan menggali lagi ide dasar tulisan dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau persoalan psikis, kaitannya dengan kondisi perasaan, mental, atau pikiran. Ini bukan masalah teknis menulis, tetapi lebih kepada bagaimana cara menyiapkan diri sendiri untuk mulai lagi. Kalau sedang merasa tidak ada dorongan menulis, saya tidak akan memaksakan diri. Saya akan melakukan hal-hal lain yang saya sukai selain menulis. Menonton film, mendengarkan musik, bermain gitar, membaca buku, atau mengobrol dengan pacar atau teman. Tidak lama setelahnya biasanya pikiran saya sudah segar, perasaan saya membaik, dan dorongan menulis itu datang kembali.
Kamu tentu sering membaca buku-buku bagus, tapi kami juga yakin kamu pasti tentu pernah juga membaca buku-buku jelek. Tolong sebutkan satu buku jelek yang pernah menyia-nyiakan waktu hidupmu dan kamu ingin melemparkan buku itu keluar jendela. Kenapa?
Saya justru akan melemparkan buku ke dinding kamar jika buku itu bagus sekali. Ha, ha, ha. Saya rasa kebanyakan pembaca pernah berhadapan dengan buku yang menyebalkan. Saya juga pernah. Tetapi tidak penting apa dan siapa yang menulis bukunya. Saya kira yang lebih penting adalah bahwa buku jelek juga bisa memberi pelajaran baik bagi seorang pembaca maupun penulis. Bagi pembaca, buku jelek memberinya peringatan untuk lebih berhati-hati dalam membeli buku. Sedangkan bagi penulis, buku jelek memberinya inspirasi agar tidak menulis dengan cara seperti yang ia lihat di buku itu.
Menurutmu, kriteria buku bagus dan buku jelek itu seperti apa?
Formula saya sederhana. Saat membaca buku bagus, saya akan mengumpat dengan spontan. Semakin banyak umpatan yang saya keluarkan, semakin bagus buku itu bagi saya. Kadang-kadang saya tidak bisa benar-benar menguraikan apa yang membuat saya mengatakan bahwa buku itu adalah buku bagus. Tapi saya tetap berusaha menjelaskan hal-hal apa yang bagi saya menarik di buku itu. Saya akan menuliskan catatan pendek tentang pembacaan saya dan saya unggah di blog (http://bisikanbusuk.com)
Buku bagus adalah buku yang ditulis dengan baik. Penulisnya sadar bahwa ada pembaca yang harus ia jaga rasa penasarannya. Ia berusaha agar ceritanya tidak membosankan atau bikin mengantuk. Ini berarti persoalan teknik menulis. Ada hal lain juga: tngkat kepentingan. Buku bagus adalah buku yang memiliki tingkat kepentingan tinggi. Buku bisa saja punya cerita menarik tetapi tidak punya urgensi, dibaca atau tidak takkan mempengaruhi banyak hal dalam diri kita. Buku harusnya menjadi kapak yang memecahkan laut membeku dalam kepala kita, begitu kata Kafka. Itu ada benarnya meski saya tidak sepenuhnya bersepakat dengan Kafka. Itu sebabnya saya sesekali berkomentar di kanal-kanal media sosial tempat saya mengunggah foto buku yang sedang baca dengan kalimat-kalimat seperti “Ini buku bagus” atau “Ini buku penting”. Ada buku bagus yang tidak penting, ada buku penting yang terasa membosankan, tetapi penting untuk dibaca. Buku bagus tidak selalu penting dan buku penting tidak selalu seru. Ada buku yang bagus sekaligus penting, ini yang terbaik dari semua.
Kalau buku jelek, tentu saja berarti kebalikan dari itu-tidak bagus dan tidak penting.
Kami sering mampir ke BisikanBusuk.com. Kami lihat kamu sangat produktif membaca. Sebenarnya, apa manfaat terbesar membaca bagi seorang penulis?
Mengetahui ada banyak cara menulis buku bagus. Ada banyak cara menuliskan suatu gagasan. Camus menulis The Stranger yang tipis dengan plot linear dan tanpa permainan teknik yang heboh, tetapi itu tetap buku bagus. Pamuk menulis My Name Is Red dengan eksplorasi sudut pandang penceritaan yang luar biasa dan cerita berbingkai dengan narasi padat, itu juga buku bagus. Cakrawala jadi luas seiring banyak membaca buku bagus. Buku bagus tidak hanya yang begini atau hanya yang begitu. Tidak ada pakem yang wajib dipatuhi semua penulis jika ia ingin menulis buku bagus. Seseorang juga menjadi tahu bahwa tema ini atau itu ternyata juga bisa diangkat, sudut pandang itu ternyata juga bisa dibeginikan, dialog dan narasi dan deskripsi ternyata juga bisa ditulis dengan cara seperti ini atau seperti itu. Membaca buku juga bisa membuat seorang penulis menyadari apa yang seharusnya ia tulis karena hanya dirinya yang bisa menuliskan hal itu.
Dalam sebulan, kamu sanggup membaca berapa buku?
Tidak bisa menjawab ini dengan pasti. Kadang satu buku selesai saya baca dalam beberapa hari, kadang pula beberapa minggu. The Satanic Verses sampai tiga bulan belum kelar juga dan akhirnya saya kembalikan ke rak dan entah kapan saya baca lagi-tapi saya berniat untuk tetap melanjutkannya suatu hari nanti. Pada bulan-bulan tertentu saya bisa membaca lima hingga enam buku. Kadang lebih sedikit. Di bulan-bulan lain saya bisa hanya membaca satu buku dan itupun belum selesai.
Apakah kebanyakan fiksi?
Iya, kebanyakan fiksi, kumpulan cerita maupun novel. Kadang-kadang saya membaca buku kumpulan puisi, dan meski tidak sesering buku fiksi, saya juga membaca buku nonfiksi.
Kenapa kamu menyukai dunia fiksi?
Saya kira hal utama yang saya senangi dari berhadap-hadapan dengan dunia fiksi adalah kesadaran bahwa semua itu rekaan. Sesuatu yang dikarang. Dan yang menakjubkan adalah di dalam karangan itu terselip satu-dua fakta. Pada awalnya saya mengira kebebasan mencipta yang disediakan dunia fiksi membuat dunia tersebut hadir lebih fantastis ketimbang dunia nyata, tetapi saya keliru, karena dunia nyata ternyata jauh lebih absurd dan sulit dimengerti dengan logika paling tajam dan jernih sekalipun. Sewaktu kecil saya menyukai dunia fiksi dalam novel-novel fantasi dan komik karena saya ingin kabur sebentar dari dunia nyata yang membosankan, tetapi pada akhirnya cerita-cerita fiktif itu yang di kemudian hari menggandeng saya kembali ke kenyataan.
Fiksi adalah mengatakan kebohongan demi kebohongan demi kebohongan untuk mengungkap sekelumit kebenaran. Sensasi menyimak kebohongan demi kebohongan itu yang saya nikmati. Saya tahu hal ini dan itu dalam suatu cerita merupakan rekaan semata, sembari saya tahu bahwa hal-hal tertentu adalah hal faktual, sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Semua elemen yang membuat suatu tulisan menjadi fiksi-perwatakan, dialog-dialog, narasi, deskripsi, plot, konflik-semuanya menjadi bagian dari kenikmatan saya terhadap fiksi.
Kamu telah menerbitkan buku puisi, novel, dan cerpen. Di antara ketiga hal itu, mana yang paling kamu cintai sepenuh hati dan apa alasannya?
Tentu saja saya tak akan menulis apapun kalau saya tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Saya belajar hal berbeda dari masing-masing bentuk tulisan itu. Kenikmatan yang saya dapatkan pun berbeda. Itu sebabnya saya tidak menulis yang satu dan berhenti menulis yang lain. Saat menulis cerita pendek, saya juga sedang menggarap novel begitupun sebaliknya. Saya memulai karir menulis saya dengan puisi, meski sekarang ini saya sudah jarang menulis puisi. Semuanya memberi saya kesenangan tersendiri. Novel memberi saya ruang luas untuk bercerita tentang banyak hal. Cerita pendek menyediakan kamar sempit dengan satu-dua hal menarik di dalamnya. Puisi menemani saya merenungi hal-hal yang tadinya hanya saya pikirkan sekilas.
Tolong sebutkan 5 kata dalam bahasa Indonesia yang menurutmu paling indah.
Melankoli. Manipulatif. Mukjizat. Mahligai. Halimun.
Jika kamu bertemu dengan Anton Chekhov dan Haruki Murakami, siapa yang lebih dulu kamu sapa? Kenapa? Lalu, pertanyaan apa yang ingin kamu ajukan untuk mereka berdua?
Saya rasa saya tidak akan menyapa mereka sama sekali. Saya hanya akan melihat mereka dari jarak yang cukup aman dan tidak dapat terlihat oleh mereka. Jarang sekali saya menyapa orang yang tidak saya kenal, apalagi yang tidak mengenal saya. Kalau mereka sedang sendirian, saya hanya akan memperhatikan mereka. Kalau mereka sedang berbincang, mungkin saya akan mencari tempat yang bisa memungkinkan saya mendengar apa yang mereka bicarakan. Kalau di situasi tertentu saya terlibat dalam percakapan mereka dan mereka mengizinkan saya bertanya, saya akan bertanya: apa kalian takut kodok?
Pendapat kamu tentang website komunitas penulis-dalam hal ini contohnya adalah Sipenulis.com-seperti apa? Apakah website semacam itu bagus untuk penulis atau justru sebaliknya?
Tahun 2007 ketika saya mulai menulis dengan lebih serius, saya bergabung dengan website forum penulis pemula kemudian.com. Saya tidak tahu apa-apa dan hanya punya modal kesenangan menulis. Di sana banyak orang yang bagi saya waktu itu orang-orang hebat karena tulisannya bagus-bagus. Atmosfer di sana juga menyenangkan karena begitu cair, setiap pengguna saling berbalas komentar (karena sistem di website tersebut mengharuskan penggunanya saling berkomentar) dan saya kira hal itulah yang membuat saya bersemangat menulis di masa-masa itu.
Saya tidak begitu cocok dengan komunitas karena saya selalu ingin bebas dan tidak mau terikat hanya pada satu kelompok. Lagipula, pekerjaan menulis pada akhirnya adalah pekerjaan yang sepi. Berkenalan dengan sebanyak apapun orang, sesering apapun berkumpul dengan penulis-penulis lain, pada akhirnya seseorang akan menemukan dirinya sendirian, berhadap-hadapan dengan laptop atau pulpen dan kertasnya sendiri.
Kendati demikian, saya percaya komunitas punya dampak positif terhadap penulis-penulis baru, terutama mereka yang tidak punya rasa percaya diri cukup dan tidak punya teman berbagi. Saya termasuk orang-orang itu. Pada awalnya, saya tidak punya rasa percaya diri cukup dan tidak punya teman berbagi yang tertarik dengan dunia tulis-menulis, sampai akhirnya saya bertemu website kemudian.com dan bertemu banyak orang yang memiliki kegemaran sama dengan saya, dan itu membuat saya senang dan semakin bersemangat. Itu, saya kira, adalah modal awal saya saat memutuskan untuk menulis lebih serius lagi.
Mereka yang tergabung dalam Sipenulis.com kebanyakan adalah penulis muda. Apakah kamu punya semacam nasihat untuk mereka yang ingin berdarah-darah menapaki jalan kepenulisan?
Jangan lakukan apa yang sebenarnya bisa untuk tidak kamu lakukan. Artinya, jangan menulis kalau sebenarnya kamu akan baik-baik saja tanpa menulis. Dan tentu saja satu hal yang tak mungkin bosan saya katakan: banyak membaca.
Oke, Bernard. Terima kasih banyak atas kesempatan ini. Sukses selalu.
Terima kasih sudah mengajak ngobrol. Sukses juga untuk website-nya.[]
________________
Bernard Batubara (Bara) lahir 9 Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat. Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak pertengahan tahun 2007. Puisi dan cerita pendeknya dimuat di majalah budaya, surat kabar lokal dan nasional, serta termuat di beberapa antologi bersama penulis lain.
Buku Bara yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM(2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth(2014), Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014), dan Jika Aku Milikmu (2015). Radio Galau FM dan Kata Hati kini telah menjadi film layar lebar, diproduksi oleh Rapi Films.
Bara menjadi pembicara di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2013, penulis terpilih Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2013, dan bicara diAsean Literary Festival (ALF) 2015. Selain bekerja sebagai penulis penuh-waktu, juga mendirikan kelas menulis bernama Kopdar Fiksi, dan memenuhi undangan untuk bicara tentang penulisan kreatif di kampus dan komunitas.
Saat ini, Bara sedang mempersiapkan buku terbarunya. Sebuah kumpulan cerita.
t: @benzbara_
e: benzbara@gmail.com
fanpage: Bernard Batubara
(Profil Bernard Batubara kami dapatkan dari blog http://www.bisikanbusuk.com)
sumber: sipenulis.com