Post by Admin on May 20, 2016 3:52:08 GMT 7
Gambar Malam Narasi 18 Mei 2016 di grup Whatsapp:
1. Nana
2. Zu
3. Sunflower
4. Mister Izzy
5. Depi
6. Doddy
7. Roida
8. Dyah
9. Nadita
10. Dini
11. Muhamad Abdul
12. Kenti
13. Putri
14. Ruru
______________________________
By: Nana
"Anti Mainstream"
Anakku itu rajanya anti mainstream. Di saat anak-anak lain bersenang-senang dengan memanjat pohon jambu, dia malah manjat tiang listrik. Saat anak-anak lain merengek minta permen atau coklat, dia merengek minta salad brokoli. Saat anak-anak lain bermain di kolam renang, dia bermain di comberan.
Awalnya sih selalu kubiarkan karena aku dan suamiku menganggap itu lucu. Tetapi mungkin jusru karena reaksi kami itulah, kebiasaannya bertambah parah. Beberapa waktu lalu saat kami sekeluarga pergi ke KFC, dia meminta kecap ke pelayan. Ketika makan malam di warung tenda yang menjual pecel lele dan sejenisnya, dia malah minta saos tomat. Maunya apa ini anak?
"Kamu makan apa sih waktu hamil? Anak kita kok seleranya kayak alien?" tanya suamiku suatu waktu.
"Enggak ada yang aneh kook. Lagian tau dari mana seleranya dia kayak alien? Emang pernah ketemu?" serangku.
Suamiku menggaruk kepala, "enggak sih, biar kedengeran pas aja gitu..."
Saat tengah mengobrol, tiba-tiba pintu depan terbuka. "Pa, Ma, Fari mau sepeda dong kayak temen-temen..."
Mendengar perkataan itu, kami berdua sontak menoleh. 'Kayak temen-temen', kata-kata itu terus berulang di otakku.
"Kayak temen-temen katanya, Pa!" bisikku bahagia pada suamiku.
Suamiku tentu mengerti maksudku. Karenanya, ia lalu memberikan senyuman yang kira-kira berarti 'tuh kan, kalo didiemin lama-lama dia normal juga, kok'. Jangan tanya kenapa aku bisa mengerti sejauh itu, kami kan bisa telepati.
"Fari mau sepeda yang gimana?" tanya suamiku lembut setelah menunduk dan memandang mata anak kami dalam posisi sejajar.
"YANG RODA LIMA!" seru Fari tanpa dosa.
Kami berdua pun membatu.
-----
"Pa, Ma, Fari berangkat kerja dulu," ucapnya lembut seraya mencium pipi kami bergantian, lalu memeluk kami agak lama sebelum melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar.
Namun sebelum benar-benar pergi, Fari membalikkan tubuhnya dan berkata, "jangan lupa, besok ada acara family gathering dari kantor. Siap-siap dari sekarang."
Aku menggelengkan kepala tidak mengerti. "Kamu itu.... biasanya anak cowok paling malu bawa-bawa ayah-ibunya ke acara begituan. Kamu malah semangat banget."
Fari hanya tersenyum sebelum memperlihatkan punggung lebarnya dan pergi meninggalkan kami.
Punya anak yang agak berbeda tidak buruk juga....
-nana-
18/5/2016
________________________________________________________
By: Zu
"Ah, sial. Lagi-lagi payungku ketinggalan."
Sejak pagi tadi turun hujan tanpa henti, oh tidak, dua jam sebelum ini sudah berhenti dan aku kira akan selamat dari hujan saat pulang sekolah.
"Nggak bisa ditebak deh cuaca sekarang." Kukibaskan beberapa air yang terlanjur menyerap di pakaian sekolahku. Dan terpaksa aku harus singgah di halte, tidak jauh dari sekolah.
Hujan adalah salah satu hal yang aku suka. Karena setelah hujan akan ada pelangi yang membuatku nyaman saat melihatnya. Oke lain cerita kalau hujannya malam-malam. Bisa kan ya, tidak usah mendebatkan itu....
"Eh..." Aku menghentikan gerakan tanganku ketika melihat seseorang melintas di depanku dengan payungnya.
'Cowok itu!!' Dan kesukaanku bertambah ketika di saat hujan aku selalu bertemu dengannya.
Cowok dengan raut wajah sedih dan sendu. Cowok yang menyita perhatianku. Cowok yang membuat hatiku sakit saat melihatnya. Dia selalu membuatku menahan diri untuk tidak memeluknya dan mengatakan bahwa aku ingin melindunginya.
"Ini kesempatanku..." gumamku. Yah, aku tidak bodoh. Biarpun aku selalu mendapat nilai merah di raportku, kalau soal itu saja aku bisa tahu dengan jelas.
Aku tahu jelas sekali. Dia menyukainya.
Aku memutuskan untuk mengikutinya di belakang. Aku tahu, dia pasti akan menemuinya. Tapi kakiku tetap melangkah maju dan mengikutinya di belakang. Tanpa payung, hanya ditemani hujan yang terus merembes ke dalam hatiku dan membuatnya semakin perih.
Dia menemuinya. Gadis itu telah menunggu di sana. Di depan sekolah kami, menanti dengan senyum terbaiknya.
"Guntur..."
Aku ingat jelas namanya. Nama yang selalu mengingatkan pada hujan. Tapi selalu membuatku takut ketika mendengar suaranya.
"Kamu selalu tidak pernah membawanya..." suara yang terdengar begitu menyakitkan. Aurora tersenyum getir. Tanpa menjawab, hanya berusaha mendekat dan meneduh di bawah payung Guntur.
Aurora teman sekelasku. Karena absen sekolah selama dua bulan, dan baru masuk lagi tiga minggu yang lalu dia kesulitan dalam bergaul.
Dalam diam aku mengikuti mereka. Dan mereka tidak mengatakan satu patah katapun. Aku tidak pernah sejauh ini mengikuti mereka. Selalu berakhir di depan gerbang sekolah dan meratapi nasib melihat keduanya tampak saling membutuhkan.
Kali ini, kali ini saja, aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan sepanjang jalan. Namun, tidak pernah aku tangkap sekalipun kata yang keluar dari mulut mereka.
Aku mulai menggigil kedinginan dan merasa sesak. Namun napasku berhenti sejenak ketika mereka berdua berhenti di depan jembatan yang melintang di atas sungai.
"Guntur..." suara Aurora terdengar lirih.
"Aku berpikir untuk berhenti melakukannya..." Guntur melihat ke arah Aurora yang terlihat kaget.
"Gak! Kamu tahu dia nggak akan menyukainya!"
"Aurora..."
"Kamu tau kan, dia selalu meminta payung saat hujan turun, dia akan bermain di bawah hujan dengan payungnya, dia...."
Guntur melepaskan payungnya dan memeluk Aurora dengan erat.
"Dia... biarkan dia beristirahat dengan tenang, Ra..."
"Gak! Jangan begitu, Guntur! Kakakku nggak akan senang..." Aku bisa mendengar suara Aurora yang bergetar, dia terlihat lemah. "Aku mohon... berikan payung itu pada kakak."
Aku melihat Guntur diam sejenak sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya ke atas jembatan dan menjatuhkan payung itu ke bawah sungai.
"Rinai... dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bukan karena kita... Aku nggak ingin kamu terus menyalahkan dirimu." Bahu Aurora bergetar. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan.
"Aku... kalau saja aku nggak memutuskan untuk menjalani hubungan denganmu. Kakakku... dan aku...." tangis Aurora pecah dan dia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Guntur mendekat dan hendak memeluknya tapi Aurora mendorongnya.
"Aku... aku tau ini seharusnya nggak terjadi. Kakak selalu melihat ke arahmu, Guntur. Kenapa kamu nggak sekalipun menyadarinya? Aku... kita... sebaiknya nggak usah bertemu lagi." Aurora pergi berlari menyebrangi jembatan dan tak pernah sekalipun menoleh ke arah Guntur.
Guntur terlihat frustasi. Dia hanya bisa terduduk dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Saat itu aku ingin sekali memeluknya, memberikan semua kekuatanku yang aku punya. Tapi tidak bisa. Aku bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun dari tempatku. Merasakan jantungku yang berdenyut sakit.
Ya, tanpa sadar aku bisa membaca semua situasi.
Aku paham kenapa sejak kematian kakaknya, Aurora tidak bisa datang ke sekolah sampai dua bulan.
Aku paham kenapa beredar gosip bahwa Aurora penyebab kematian sang kakak.
Dan aku paham kenapa ekspresi Guntur terlihat begitu menyakitkan
Hujan bagi adalah keindahan. Tapi bagi sebagian orang adalah luka. Kini aku bahkan tidak mengerti harus memaknainya bagaimana. Karena saat ini air hujan berubah menjadi jarum yang menusuk-nusuk tubuhku.
#MalamNarasi
#BedaHujan
Zu
18/5/16
________________________________________________________
By: Kenti
[Putri Tanah]
Pertama kali aku melihatnya adalah ketika kali pertama kami dipertemukan. Hahaha, tentu saja bodoh!
Saat itu angin musim gugur meliuk-liuk begitu menyayat hati, ada seseorang yang begitu sering mendekati kediaman kami, sebuah istana megah yang dibangun dengan arsitektur tiada tandingan. Ia datang, setiap dua hingga tiga kali selama sepekan. Selalu dengan ritual dan ekspresi yang sama. Duduk lalu menulis di bawah pohon, lalu kemudian pergi lagi sembari mengembangkan payung hitamnya, meski langit tidak hujan atau tidak begitu terik. Itu saja, dan... wajahnya selalu menunduk, membuat siapa saja ingin mengetahui apa maksudnya, dan apa yang ia tulis.
Maka, akhirnya di sebuah hari, ketika untuk ke sekian kalinya aku mendekati, aku berjalan dan berjalan, mengintipnya dari tempat semudah mungkin. Aku amat dekat dengannya. selalu... wajah itu, mata birunya, dan, saat aku semakin mendekat, ia tersenyum! Entah apa penyebabnya, itu adalah pertama kalinya aku melihat ia mengangkat wajahnya, memandang langit di atas sana. Juga, warna pelangi pada payungnya yang begitu berbeda dari sebelumnya. Dan aku, aku merasakan pipiku memerah. Saat itu, aku benci sekali pada diriku karena telah mengira akulah penyebabnya. Maka seusai dari pertemuan hari itu...
"Ayah, aku, aku..." aku ingin mengatakan selugas mungkin, tapi ternyata kata-kataku tersangkut di tenggorokan.
"Ada apa, Nak?" Ayah memiringkan kepalanya, menyelidik.
"A-a-aku... aku..."
"Tenangkan dirimu dulu, Sayang..." kali ini Ibu.
"Aku ingin menikah, Bu, Yah..." akhirnya aku berhasil mengatakan itu. Aku menunduk, mengintip ke arah dua kebanggaan hidupku.
"Benarkah?" Ayah terkejut, kentara sekali wajahnya amat senang.
"Oh, Putriku, pangeran mana yang telah berhasil merenggut tempat di hatimu, Nak?" Kali ini Ibu, sama senangnya.
Mukaku panas, pasti pipiku kembali memerah menahan malu, juga takut.
"Oh, Dewi Kebahagiaan, akhirnya anakku akan menikah! Aku akan segera memiliki cucu, hahahaha..." Ayah berlebihan, Ibu tersenyum menyentuh punggung tangan suaminya.
Sedangkan aku, hatiku kebat-kebit.
"Katakan pada Ibu, Nak, siapa pangeran yang beruntung itu?" Ibu tersenyum, hangat sekali tahapannya.
Tapi aku hanya diam, perlahan, mataku mulai basah, tubuhku gemetar.
"Iya, siapa, Sayang? Akan segera aku kirimkan utusan untuk menjemput lelaki itu. Oh, tidak-tidak, seharusnya dia bisa datang sendiri, hmm.. kira-kira putri kita tertarik pada pangeran dari mana ya? Penduduk daun, atau rumah, atau tanah seperti kita? Hmm.." Ayah mulai menebak-nebak.
Tidak bisa, sebelum semakin berlanjut, aku harus segera mengatakannya!
"A-aku... aku... aku menyukai seorang manusia, Wahai Ibu! Ayah!" Dan jelas sudah mataku basah oleh cairan bening dari mata. Aku rasakan keheningan selama beberapa detik, kurasa mereka bingung.
"Oh, Putri manisku, kamu lucu sekali, Sayang..."
"Aku berkata jujur, Bu!"
"Anak kita ini rupanya sangat malu untuk mengatakannya, Ratuku."
"Aku serius, Ayah. Bahkan jika seluruh takhta adalah jaminannya, aku rela melepas semuanya."
"Eh?"
"Ayah, Ibu, aku begitu menyukainya! Mata biru itu, selalu, dan selalu. Aku menginginkannya, Bu." Aku mulai menangis deras.
"Tianna..."
"Aku berkata benar, Bu..."
"Tianna, bercandamu sungguh tidak lucu! Ratuku, bawa anakmu menuju tabib istana, mungkin dia sedang tidak sehat!" Ayah berdiri, menatap lurus ke depan.
"Ayah..." aku menangis, menjatuhkan diri, bertumpu pada lutut kaki.
"Aku berkata sebenarnya. Ku mohon mengertilah..."
"TIANNA!" Ayah kelihatannya mulai mengerti dengan jelas apa maksudku, tubuhnya terguncang.
"Ah, anakku, kamu, tidak berkata yang sebenarnya, bukan? Bangun, Nak, jelaskan pada ayahmu," ibu mendekatiku.
"A-a-aku, benar-benar menyukainya, Bu. Aku... aku, aku ingin menjadi manusia!"
"TIANNA!"
Plak!
Aku sudah mengira, kukira itu tangan besar ayah, namun nyatanya tangan itu hanya terangkat ragu. Dan, itu tamparan dari ibu, halus, namun cukup menjelaskan.
"Tianna, untuk pertama kalinya Ibu menamparmu. Dan, hanya tamparan kecil, kau tahu?"
Aku mengangguk, jelas, Ibu tak ingin anaknya mendapat tamparan panas dari tangan besar ayahku.
"Sejarah tidak akan terulang untuk yang kedua kalinya, Nak!"
Aku masih menangis, Ayah terlihat sekali marah, dan mata Ibu begitu sendu. Aku sudah cukup mengecewakan mereka, seorang calon Ratu dalam kerajaan semut tanah, seorang pemegang takhta yang menolak seluruh pangeran, justru ingin menikahi manusia bermata biru itu. Maka, pada akhirnya...
"Kamu akan kehilangan segalanya, Nak. Bahkan mungkin kami, Ayah-Ibumu..." Ibu berkata sendu, memberikan ramuan yang harus kuminum itu.
Aku sudah siap segalanya, aku rela, aku sangat ingin menjadi manusia.
Dan, ramuan itu segera aku minum, berbagai ritual kujalani. Ah, aku bahagia sekali, tunggu aku, Pangeran senduku. Tunggu aku...
Wussss...
Angin bergerak deras. Seperti ada sebuah kipas besar dari langit, ia meniupi sesiapa pun di tempat kami. Semua sudah tahu, sudah paham, ini pernah terjadi, dan kami bangsa semut, tidak tergoyahkan.
Akhirnya aku menjadi seorang manusia! Hahaha...
Keputusan terbodoh yang pernah aku jalani. Contoh ketidakpuasan hidup dalam diri.
Dan, semuanya aku tinggalkan.
Tempatku bukan lagi di lubang-lubang tanah taman kota.
Aku telah menjelma.
Menjadi seorang manusia berparas jelita.
Kurasakan cintaku sudah di depan mata.
Namun nyatanya,
Ternyata...
Pria itu tidak sekali pun, sampai kapan pun, seberjuang apa pun, ia-tidak-menyukai-wanita...
...
Aku terhenyak, patah, dan, akhirnya musnah...
_"Kamu, akan kehilangan segalanya, Nak. Bahkan mungkin termasuk kami, ayah-ibumu. Juga..."_
_"Juga apa, Bu?"_
_"Juga mungkin dirimu sendiri, kamu akan musnah, menjadi serbuk tanah, jika yang kau rindukan itu... justru bukan seorang pria sejati, yang bahkan melirikmu saja tidak."_
_Termenung. "Tidak, Bu, aku tahu ia tidak begitu..."_
-Kenti Lestari-
#MalamNarasiOWOP
________________________________________________________
By: Mister Izzy
*FUNERAL*
Sore itu mendung bergelayut manja pada guntur yang menyalak-nyalak. Saat itu masih sore sekita pukul tiga, namun keadaannya saat itu bagaikan menjelang maghrib. Satu demi satu orang-orang keluar dari pintu-pintu kendaraan mahal yang mengantarkan mereka, dengan menggunakan pakaian serba hitam. Terlihat pula mereka menggenggam payung-payung hitam untuk antisipasi hujan, karena langit sudah memberikan tanda-tandanya sedari siang.
Aku terduduk dari kejauhan, bersama prasasti-prasasti bisu yang berbicara dalam tulisan. Memberitahuku tentang siapa saja orang yang terletak dibawahnya, kapan mereka hadir di dunia, juga kapan mereka meninggalkannya. Beberapa tertulis kalimat kenangan, mengenai betapa berharganya orang itu di dunia. Our beloved Father, My sweet Daughter, The Independence Hero dan lain-lain. Tak sedikit pula yang hanya berupa batu rapuh berlumut, hancur dimakan waktu.
Rombongan berpakaian hitam-hitam dengan paying-payungnya yang hitam itu kini berkumpul di suatu tempat, dipinggir sebuah lubang. Dari kejauhan, sebuah peti diusung keluar dengan kain merah putih menutupinya.
Seorang wanita muda dengan pakaian serba hitam memimpin rombongan tersebut, membawa foto berpigura, gambar seorang laki-laki tua menggunakan jas hitam berdasi merah.
Setelah sampai disamping lubang, semua orang duduk di bangku-bangku yang telah disediakan. Seorang berpakaian rapi kemudian berdiri mengatakan beberapa patah kata yang sayup kudengar dari kejauhan. Tentang jasa beliau, tentang kehidupannya yang baik, tentang segala hal yang membuatku muak dan panas. Setelah itu, wanita muda yang tadi membawa pigura tiba untuk bicara, suaranya tak dapat kudengar karena suara guntur yang sering memekik dan suara hujan air mata yang meredam suaranya.
Peti pun akhirnya diturunkan, yang kemudian diiringi dengan letupan senapan dari beberapa tentara di pinggir liang lahat. Aku tak dapat melihat detail penurunan petinya karena terhalang tubuh-tubuh pelayat dan payung-payungnya yang hitam. Hujan rintik-rintik perlahan membasahi bumi, sepertinya awan tak sanggup menahannya lagi.
*Dengan segera ku buka payung pelangiku, melindungi kemeja merah, dasi kuning, celana putih dan sepatu biruku dari derasnya hujan. Perlahan aku menghampiri kerumunan orang itu untuk melihatnya prosesi pemakamannya dari dekat.*
Saat tepat aku berdiri di lubang itu, melihat petinya telah jatuh menyentuh bumi, puluhan mata pelayat menatapku dengan sangat tajam, termasuk gadis yang memegang pigura itu. Tanpa peduli dengan apa yang akan terjadi aku pun kemudian berjongkok dan meludah ke liang lahat, lalu dengan menatap peti itu, dengan suara nyaring setelah petir bergemuruh ku berteriak;
*“Pengadilan Tuhanlah yang akan mengadilimu kelak, tiada tempat yang layak bagi pemimpin zalim selain neraka!”*
*Mister Izzy*
Kalanturan 19/05/2016
________________________________________________________
By: Putri
All You Need is Love
“Akh-!”
Awal cerita dimulai dengan bunyi gedubrakan dari si tokoh utama lelaki yang terjerembap jatuh.
“Aka! Kau tidak apa-apa?”
Seorang perempuan, yang rambut hitamnya tergerai berantakan saat merunduk membantu Aka berdiri bertanya cemas.
“Sakit! Dan celanaku kotor.” Terdengar manja untuk ukuran seorang lelaki, tapi, tak ada komentar mengenai dirinya sendiri. Sebenarnya itu hanya caranya menutupi apa yang sebetulnya terjadi.
“Coba lihat tanganmu..” Si perempuan memperhatikan lekat jemari Aka saat tadi terlihat olehnya lelaki itu sedikit mengerenyit menahan sakit saat tangannya digenggam untuk berdiri.
“Cuma tergores, pakai tensoplas juga beres,” Aka memperhatikan raut wajah si perempuan, “Jangan berpikir macam-macam, kau jelek kalau mengerenyit, En.”
Perempuan yang dipanggil En itu hanya menghela napas setelah memperhatikan raut wajah Aka sejenak.
“Ayo duduk dulu sebentar kalau gitu.”
Sepakat. Sekarang keduanya duduk di bawah pohon besar yang bayangannya membuat teduh.
Sambil membungkus jemari Aka dengan band-aid, En membuka suara lagi, “Kau ngapain sih tadi?”
Aka menjawab sambil mencucu, “Aku cuma ingin berbalik. Tapi tidak lihat ada gagang payung, lalu tersandung…” Hanya mendapat helaan napas, menjadi acuan bagi Aka untuk terus bicara, “Lagipula, kenapa juga kau menutupi pemandangan bukit ini dengan payung hitam sih? Sayang kan, bukitnya cantik..”
Aka sudah berkali-kali mendengar konsep pameran fotografi En, bertanya begitu karena dia senang saja mendengar jawabannya.
“Lalu kau mau kuposisikan dimana? Jadi foreground seperti foto foto di Instagram? Nanti keberadaanmu jadi tidak kelihatan.”
“Ketampananku akan menyatu sempurna dengan alam seindah ini, tahu…”
Kekehan pelan terlontar dari mulut En sambil menepuk jari yang selesai diobati, “Kau tahu definisi ‘terlihat’ untukku, jangan memaksa aku mengatakannya, dan sekarang berdiri, ayo ulang lagi, awannya terlihat bagus kali ini.”
Ah, gagal dia memancing kekasihnya mengatakan hal yang ingin didengarnya. Perempuan itu terlanjur berdiri sambil menarik lengannya. Untuk kemudian membereskan susunan payung hitam yang tersanggah batu agar kembali menutupi sepetakan tanah bukit. Aka kembali berjongkok di salah satu kolom dari deretan payung, membelakangi kamera sambil memegang payung berwarna pelangi.
Saat En menyuarakan bahwa dia selesai mengambil gambar, Aka kembali berdiri. Kali ini dengan hati hati melangkahi payung payung di sekelilingnya, menghampiri En.
“Wajahku tidak kelihatan.” Ucapnya saat mengintip preview di kamera.
“Kau terlihat jelas, Sayang.” En menjawab begitu, pertanda hatinya senang.
Aka tahu sekali. Jadi yang bisa dia lakukan hanya merengkuh bahu mungil itu dengan sebelah tangannya. Menanti kalimat selanjutnya.
“Grey 90%,” En menunjuk bagian payung yang berwarna biru, “80%,” lalu yang hijau, “60%,” kemudian merah, “40%,” jarinya sekarang di bagian berwarna oranye, “30%.” Kuning, “Lalu nol.” Tepat di warna putih, “Kau bergradasi di antara hitam, mencuat sendiri, terlihat jelas sekali. Seperti tokoh utama di wonderland dengan background begini.” Katanya lagi sambil menunjuk awan yang bergumul di dalam foto.
Aka memperhatikan raut wajah perempuan itu saat mendengarkannya bercerita. Selalu begitu. Mereka bertemu karena Aka tak suka En menjadikannya objek dalam fotonya secara diam-diam. Tapi penjelasan perempuan itu membuatnya tak berkutik dan berbalik mengusik rasa penasarannya akan si perempuan.
“Aku tidak pernah mengerti kenapa mereka bilang warna dalam fotoku ‘unik’, aku sendiri tak pernah tahu seperti apa itu ‘warna’, tapi saat aku melihatmu, kau lain sendiri. Kau tidak seperti pemandangan sekeliling yang selalu kulihat, apa ‘warna’ itu seperti ini?”
Aka bisa apa dikata-katai seperti itu oleh perempuan yang ingin sekali dia maki-maki karena memotretnya sembarangan? Ujungnya, dia yang menawarkan segelas kopi bersama hingga sekarang menjadi bagian tetap dalam karya si wanita.
Tetap saja, butuh waktu untuk Aka mengerti kenapa dia diberi label berbeda oleh En. Dan dia mengerti itu pada saat En memintanya ikut ke pinggir hutan tengah malam untuk mengambil foto. Dengan segala macam keluhan, “Memang kau Hagrid menyuruhku ke Hutan Terlarang malam-malam?!” , “Kenapa tidak siang saja sih?!”
Aka mengerti saat melihat hasilnya.
Walau En hanya berkata, “Kau seperti berbeda dimensi dari pepohonannya, bagus kan?” Tapi bagi Aka foto itu lebih dari sekedar itu, dia melihat dirinya sendiri bak pangeran yang melarikan diri di tengah gelap malam. Foto itu membangkitkan kepercayaan dirinya yang merosot jatuh semenjak tersiram air keras dan merusak wajahnya.
“Kenapa? Hasilnya kurang bagus?” Kata-kata En membangunkan Aka dari flashback di dalam diri sendiri demi kepentingan pembaca agar mengerti cerita ini.
“Hm? Bagus kok, karena ada aku disitu…” Itu jawaban jujur.
Yang lalu mendapat rolled eyes dari En, “Kukira kau mau komplain ini itu.”
“Aku kan bukan anak-anak yang selalu merajuk….”
En tersenyum patah, “Biasanya kau selalu memberitahuku tentang warna dalam fotoku, kesan yang kau tangkap dan semacamnya.”
En mengatakan itu ringan saja sambil membereskan peralatannya. Tak sadar Aka menatap punggung wanita itu sambil termangu.
“Aku merasa kalau bersamamu, aku jadi punya penglihatan lain, kau tahu—ah, tapi kok horror ya..” En tertawa.
Payung terjatuh ke tanah, membuat En sedikit menoleh, “Aka—” Tapi segera dia menemukan dirinya di dalam rengkuhan Aka.
“Bukan sekedar penglihatan. Lihatlah aku, kau akan tahu seperti apa warna dalam hidupmu.”
En terperangah, lalu tersenyum tipis dan tertawa.
Dalam hidupnya yang hanya mengerti dua warna, En memutuskan untuk tak menyerah begitu saja. Dia akan selesaikan tantangan yang diberikan Tuhan padanya. Tapi dia tak menyangka dalam proses panjangnya, dia mendapat kunci penting yang ternyata mengubah segalanya. Cinta. Membuat prianya tampak berbeda, mencuat, dari dimensi hitam putih di hidupnya.
________________________________________________________
By: Ruru
Aku selalu menonjol.
Hahaha.... Aku tahu, aneh kalau aku berkata seperti itu mengenai diriku sendiri. Tapi, serius, aku selalu menonjol.
Di mana pun aku berada, apa pun yang kulakukan, orang-orang dapat mengenaliku dengan mudah. Bukan karena aku selebriti. Aku hanya seorang pemuda biasa yang mendapatkan banyak anugerah. Bukannya sombong, tapi aku tampan, pintar, serba bisa, kaya, dan baik hati. Banyak perempuan yang tergila-gila padaku dan ... aku lelah.
Kalau kalian berpikir bahwa hidupku menyenangkan, kalian tidak sepenuhnya benar.
Aku menonjol di mana pun.
Setiap aku bergerak, semua mata seolah melihat ke arahku. Sebagian dengan tatapan kagum. Sebagian lagi dengan tatapan iri, atau malah dengki.
Aku seperti payung berwarna pelangi di antara payung-payung hitam. Mereka ada di sekelilingku, tapi tidak pernah menganggapku sama seperti mereka.
Hingga kamu datang.
Kamu, mengangsurkan payung hitam padaku sore itu. Payung hitam lusuh dengan bekas tambalan di satu sisinya.
"Hujan kayaknya nggak akan berhenti dalam waktu dekat. Aku baru beli payung. Tadinya payung yang itu mau kubuang, tapi siapa tahu kau butuh. Nggak bocor kok, kan udah ditambal. Cuma agak lusuh aja. Tapi kalau kau nggak mau pakai, buang aja."
Kalimat panjang lebar yang kau ucapkan itu membuatku terbengong beberapa saat, membiarkanmu berlalu begitu saja.
Kau aneh. Alih-alih memberiku payung baru seperti kebanyakan orang yang mengagumiku, kau malah memberiku payung lusuh. Penjelasanmu yang panjang lebar, dan wajahmu yang nyaris tanpa ekspresi membuatku semakin heran. Lalu, aku bisa melihat tidak ada binar kekaguman atau pancaran iri sama sekali di matamu saat kau menatapku.
Kau berbeda dengan mereka. Kau, menganggapku sama.
Hari itu aku memakai payung lusuh darimu dengan senyum lebar.
Besok, kalau aku bertemu denganmu lagi, aku akan mengucapkan terima kasih. Lalu mungkin melakukan percakapan sepele tidak penting seperti layaknya teman kebanyakan.
Ruru
19.05.16
________________________________________________________
By: Sunflower
Aku merogoh kocek celana. Kuambil sebuah kotak dari dalam. Sesungging senyum melengkung pada bibirku. Matahari sore ini masih bersinar garang di bumi khatulistiwa. Menyengat. Namun bagi hatiku yang berbunga, sinar matahari yang teramat terik terasa hangat. Kali ini aku datang lebih dulu dari perempuan itu. Seorang perempuan yang berhasil mengusik keteguhanku untuk menunda pernikahan.
***
Sebulan lalu di hari minggu, aku duduk di bangku taman alun-alun kota. Memandangi muda-mudi yang saling tertawa, memperhatikan keceriaan yang hadir dari sebuah keluarga, atau pasangan lansia yang masih tersenyum mesra di senjanya usia mereka.
"Rafli! Mau sampai kapan kau sendiri? Ibu nak tua, Raf! Pingin gendong cucu."
Aku mendesah pelan. Ucapan mamak masih terngiang jelas di kupingku. Mamak tak tahu kalau aku sedang meniti karir yang sedang naik daun. Kalau aku menikah, pikiran dan tanggung jawabku terpecah. Namun kedatangan perempuan yang tiba-tiba dengan payung warna-warni di tangannya menyentak lamunanku kala itu. Cuaca di Pontianak akhir-akhir ini tidak mudah ditebak. Memang lebih baik jika membawa payung, sebelum hujan yang mendadak dapat turun. Seperti yang perempuan itu lakukan.
Perempuan itu mengambil duduk di sampingku. Tepatnya di ujung bangku yang menjadi tempat dudukku. Kemudian dia meletakkan beberapa lembar kertas di sampingnya. Dia hanya diam memandangi Kapuas yang tengah bermandikan cahaya jingga matahari sore.
Matahari telah sempurna pamit pada bumi. Walau bulan masih bersiap mengenakan gaun putihnya yang anggun. Tapi langit telah berubah hitam pekat. Perempuan tadi masih bergeming. Pandangannya lurus menatap sungai terpanjang di pulau borneo.
“Maaf? Sudah mulai malam. Rawan kejahatan.” Kuberanikan diri menyapanya.
Perempuan itu menoleh, tersenyum kecil lalu mengangguk. Tatapannya kini beralih pada tumpukan kertas di sampingnya.
“Nona sedang mencari pekerjaan?” tanyaku lagi.
Aku menggigit kuat bibir bawah. Menyadari pertanyaanku yang terlalu sok tahu dan terkesan ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi perempuan itu malah tersenyum lebar sambil menyodorkan kertasnya.
Ragu-ragu aku mengambilnya. Tapi senyumnya begitu meyakinkanku untuk segera membaca kertas miliknya. Tulisan tangannya rapi. Sebuah cerita pendek?
“Wah! Ini indah sekali! Nona yang tulis cerita ini?”
Perlahan senyum di wajah perempuan itu surut. Lalu tangannya memberi isyarat untuk pamit pulang.
“Tunggu! Ini kertasnya!” panggilku cepat. Namun perempuan itu tetap tak menoleh. Dia berjalan pergi meninggalkanku. Dia bisu?
Kemudian malamnya, aku mengetik ulang cerpen miliknya dengan mencantumkan inisial ‘PB’ yang ia buat pada akhir tulisan. Setelah itu, aku mengirimkan cerita pendeknya lewat surel pada salah satu koran. Seminggu berlalu, namun belum ada balasan apapun di e-mail.
Hari minggu tiba. Dan tak dinyana! Cerita pendek si perempuan itu terbit pada koran minggu! Tak lama aku mendapat balasan surat elektronika dari salah satu tim redaksi. Menanyakan nomor rekening bank untuk dikirim honor. Aku memberi nomor rekening milikku. Segera kuambil uangnya dari mesin ajungan tunai mandiri. Kumasukkan ke dalam amplop untuk kuberikan pada perempuan itu petang nanti. Entah mengapa, aku memiliki keyakinan yang kuat bahwa perempuan itu akan datang kembali.
“PB?” sapaku.
Perempuan itu menoleh dan terkejut mendengar nama penanya dipanggil. Aku melirik payung warna- warni yang ia bawa dan tumpukan kertas di pangkuannya.
“Emm, begini, maaf aku lancang. Setelah minggu sore pekan lalu Nona tiba-tiba saja pergi, aku coba mengirim cerita Nona ke salah satu koran. Sayang kalau dibuang begitu saja. Ceritanya bagus. Dan, ini!” Aku menyodorkan koran minggu pagi ini. “Tulisan Nona terbit. Di dalam koran, saya menyelipkan amplop berisi honor menulis Nona.”
Aku merutuki kebodohan yang kulakukan. Aku telah menyemprotkan amplop itu dengan parfum. Untuk apa sih aku berbuat konyol begitu? Saat kulit kami tak sengaja bergesekan, jantungku beritme lebih cepat. Pipiku terasa panas juga terbakar. Aku menyadari sesuatu, bahwa cinta memang kurang ajar. Datang sesuka hati, serta tak peduli dengan pekerjaan yang tengah kukejar. Pendirianku tentang mahligai rumah tangga mulai goyah.
Begitulah yang terjadi pada minggu-minggu selajutnya. Perempuan itu masih setia dengan payung warna-warninya, tumpukan kertas berisi cerita pendek. Dan aku? Masih saja bodoh dengan memberikan wewangian parfum pada amplop putih yang berisi honor. Ah, bahkan hingg detik ini, aku masih belum tahu siapa nama aseli PB.
***
Aku memandangi kotak yang kubawa. Susah payah aku meyakinkan mamak bahwa perempuan pilihanku tak dapat berbicara tetapi memiliki keistimewaan. Mamak sepertinya dapat melihat kesungguhanku untuk segera menikah.
“Setelah kau lamar, segera bawa ke hadapan mamak, Raf.” Pesan Mamak padaku saat berpamitan pergi.
Aku memperhatikan sekeliling. Taman alun-alun kota tidak ramai seperti biasanya. Senja kali ini memang tak sempurna. Arakan mega mendung yang bergerombol sudah mengintai sejak siang. Dan akhirnya, gerimis mulai menitik. Kulirik arloji yang bertengger di pergelangan tangan kananku. Maghrib hampir tiba. Dia ke mana? Aku mulai gelisah di tempat dudukku. Kuedarkan pandangan mencari perempuan yang kutunggu.
Lampu-lampu taman mulai menyala. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuhku. Hawa dingin meyergap. Jeans-ku mulai terasa lembap. Samar-samar kulihat seseorang tengah berjalan ke arahku. Perempuan itu!
Aku tersenyum lebar melihat kedatangannya. Tak apa terlambat datang. Toh memang kami tak pernah membuat janji untuk bertemu pada jam yang sama tiap hari minggu. Aku berlari menghampirinya. Kulihat wajahnya menunduk dalam. Dia tak lagi membawa payung warna-warni. Kali ini payungnya berwarna hitam. Tangan satunya lagi menggenggam beberepa lembar kertas seperti biasanya.
“M-maf…”
Aku tersentak kaget. Dia bisa berbicara. Perempuan itu tidak bisu.
“K-kamu?”
“Kita tidak bisa lagi bertemu. Aku… “ Kepala perempuan itu mendongak, menatap mataku yang dilanda banyak pertanyaan. Kulihat wajahnya dipenuhi lebam biru.
“Wajahmu kenapa?” tanyaku panik. Tanganku berusaha menggapai wajahnya, namun ditepis oleh tangannya.
“Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih karena di pertemuan pertama kita, kau menyelamatkanku yang hampir bunuh diri,”
“Maksudmu?”
“Aku hanya perempuan yang putus asa. Aku membisukan mulutku. Hatiku sudah mati rasa. Sampai…”
Kepalanya merunduk. Menatap rumput yang basah. Telingaku menangkap isak tangisnya. Bahu perempuan itu terlihat berguncang. “Sampai?”
“Aku bertemu denganmu. Kamu membuatku ingin hidup kembali. Kamu menyiram hatiku yang mati dengan senyuman dan uluran tangan. Aku ingin menyambutmu. Namun …”
Perempuan itu menyodorkan kertas yang ia bawa.
“Bacalah. Itu cerita pendek terakhir milikku.”
“Tunggu!”
Dia membalikkan badannya. Memunggungiku. Perempuan itu pulang. Menghilang dalam kegelapan yang ditemani dengan sinar lampu taman yang remang. Kemudian dengan cepat, mataku mulai menyusuri rangkaian kalimat yang ia buat. Mencerap dengan baik agar tak ada satu huruf pun yang terlewat.
Sebuah kisah yang menceritakan segalanya. Tentang perempuan yang telah berhasil mencuri hatiku lalu dipatahkannya. Perempuan yang kucintai ternyata sudah resmi menjadi milik lelaki lain. Lelaki yang sudah mengoyak mimpinya menjadi seorang penulis. Dan drama kekerasan rumah tanggalah yang menjadikannya bisu. Ah, bukan. Perempuan dengan payung warna-warninya itu sengaja membisukan diri. Supaya dia tidak bercerita pada banyak orang tentang deritanya. Agar tak ada yang tahu tentang kesedihannya.
Seketika lututku lemas. Hujan menderas. Kotak berisi cincin yang kubawa, jatuh ke tanah.
sunflower
190516
________________________________________________________
By: Depi
Kapan pertama kali kau percaya bahwa doa adalah bentuk lain dari keajaiban?
Pertanyaan aneh, dan mungkin tidak perlu dijawab. Tapi aku mau menjawabnya. Aku mau menunjukkan padamu, kamu, kamu, kamu dan kalian semua bahwa doa adalah bentuk lain dari keajaiban.
Sewaktu kecil dulu aku tidak tahu apa itu doa. Aku hanya merapalnya karena aku diminta begitu oleh ibuku dan guru-guruku.
Hingga suatu hari diusiaku yang berbilang tujuh, aku mulai menemukan keajaiban doa.
Sore itu, entah kenapa mendung terus bergelayut. Tidak hujan, hanya mendung. Aku sibuk bermain dengan mainanku dimeja makan, sedang ibu mencuci pakaian di kamar mandi. Aku tidak tahu pasti apa yang beberapa jam sebelumnya terjadi, atau beberapa hari sebelumnya terjadi. Aku tidak paham. Yang aku pahami adalah tiba-tiba ayah mendatangi ibuku, menenteng tas besar.
"Aku mau ke Kota. Cari kerja." Dingin sekali suara ayah, tidak seperti biasanya. Ibu diam, tetap mencuci pakaian-pakaian kotor yang menumpuk. Ibuku adalah seorang guru TK yang mengajar dari pagi hingga siang, jadi ia biasanya mencuci disore hari.
"Aku sudah tak berharga lagi dimatamu kan? Aku tidak tahu kapan akan pulang." Ayah berkata lagi dengan dingin. Aku tidak tahu mereka berkata soal apa, tapi aku tahu ayah dan ibu sedang tidak baik-baik saja. Aku takut.
"Pergilah! Pergi kalau kau tak malu! Coba saja nanti ibumu datang kesini dan tahu kalau kau pergi dari rumah, pasti ibu akan marah besar! Pergilah!" Ibu menjawab dengan nada keras, tetap dengan mencuci baju-baju kotor itu. Aku tersentak, takut. Aku takut akan tetjadi hal yang sangat buruk. Apakah ayah dan ibu akan bercerai? Sepintas aku melihat ayah yang diam di depan kamar mandi, air mukanya kaku.
Aku yang masih kecil, tidak tahu apa-apa kecuali rasa takut, berjingkat meninggalkan mainanku. Cepat-cepat aku menuju tempat sholat dan tersungkur. Menangis tersedu dan tak tahu harus bagaimana. Aku mencoba sholat yang entah sholat apa, dan tentu saja aku tak berwudhu. Lalu aku berdoa dengan dada sesak.
"Ya Alloh jangan biarkan ayah pergi... Jangan biarkan..." Kuulangi doa itu berkali-kali. Aku ingin berdoa lebih banyak lagi, seperti meminta agar mereka tidak bercerai dan sebagainya. Tapi buatku saat itu yang terpenting ayah tidak pergi dulu, nanti aku berdoa lagi kalau ayah sudah pasti tidak jadi pergi.
Disela isakku, aku mendengar ayah melangkah ke kamar,membanting tas besarnya yang berisi baju-baju. Aku lega. Lega sekali karena Alloh mengabulkan doaku. Lalu sejak itu, aku tahu bahwa doa adalah keajaiban.
***
Setelah peristiwa ayah akan pergi dari rumah, ayah dan ibu tak lagi sama seperti yang dulu. Sering sekali mereka bertengkar. Bukan, bukan ibu yang dipukul oleh ayah atau ibu yang dijambak rambutnya oleh ayah. Keluargaku berbeda. Ayahlah yang sering di marahi oleh ibu. Kakakku bilang keluarga kami keluarga yang hancur tapi diam-diam. Entah, waktu itu aku tidak paham apa yang ia katakan. Kakakku sudah duduk di bangku SMP dan dia suka menggunakan kata-kata yang aku tak paham maknanya.
Tapi seiring berjalannya waktu, saat aku telah beranjak dewasa, aku mengerti apa yang kakakku bilang. Keluargaku hancur, tapi diam-diam.
Ibuku adalah seorang pegawai negeri sipil, spesifiknya adalah seorang guru TK. Sedangkan ayah, tak punya pekerjaan tetap. Dulu ayah adalah seorang sopir angkot, berpenghasilan besar dan sukses. Hanya saja semakin lama sopir angkot semakin banyak dan penghasilan ayah turun drastis bahkan merugi. Apalagi angkotnya sering masuk bengkel. Jadilah pemasukan utama keluarga kami adalah gaji ibu. Awalnya baik-baik saja, tapi setelah dewasa aku tahu bahwa ayah dan ibu tak pernah baik-baik saja.
Ibu seringkali memarahi ayah bahkan untuk hal-hal sepele. Membentaknya bahkan di depan anak-anak.
"Bodoh sekali sih Yah, dititipin tepung terigu malah beli tepung kanji!"
"Yah, tuli ya? Aku panggil dari tadi diam aja didepan tv!"
Aku muak mendengar hal semacam itu tiap hari. Tapi aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beruntung kakakku yang tinggal di asrama sekolah, jadi tidak perlu mendengar kata-kata kasar ibu tiap hari.
Karena ibu sering memarahi ayah, dan ayah takut dengan kemarahan ibu, tanpa sadar aku hilang hormat pada laki-laki itu. Kakakku bilang, ayah takut diusir sama ibu kalau melawan, jadi memilih diam saat dimarahi. Lagi-lagi waktu itu aku tidak terlalu paham, tapi aku paham bahwa sosok ayah tak bisa jadi payung lagi untukku. Saat ayah usil padaku atau menggangguku menonton tv, sontak aku bilang,
"Aku aduin ibu loh Yah!"
Itu selalu berhasil dan ayah akan berhenti menggangguku. Atau saat ayah lupa janjinya beli es krim, aku mengadukan pada ibu. Lalu ibu akan memarahi ayah didepanku.
"Kalau tidak bisa menepati janji, ya jangan janji!"
Yes, aku menang. Aku memandang penuh kemenangan pada ayah, dan menunggunya yang akan segera meluncur membelikan es krim.
Keluargaku bukan keluarga yang kekurangan. Kami berkecukupan dari gaji ibu. Belakangan ibu memberi ayah modal berdagang di samping rumah.
Kalau orang-orang tahu, mungkin mereka pikir keluargaku hanya akan bertahan sebentar saja. Tapi mereka salah. Lihat, usiaku sudah berbilang 24 dan ayah ibu masih hidup dalam ikatan pernikahan. Ibu masih menjadu guru TK dan ayah membuka toko kelontong kecil-kecilan disamping rumah. Apakah mereka tak lagi bertengkar? Tentu saja. Tentu saja masih. Ibu masih marah-marah pada hal kecil yang ayah lakukan, dan ayah tetap tak memiliki daya melawan ibu. Ya bagaimana lagi, bahkan toko kelontongnya adalah uang pemberian ibu.
Keluargaku hancur diam-diam, tapi tetlihat harmonis dari luar.
Lalu diam-diam aku membenci sosok ayah dan ibu. Dua orang yang harusnya mampu menjadi payung dalam hidupku, melindungiku dan memberi rasa aman, nyatanya menggores luka yang teramat pedih. Luka ini tidak aku rasakan sejak dulu. Luka ini aku sadari sekarang, dan ternyata sangat dalam. Aku membenci sosok ayah karena ketidak mampuannya menjadi laki-laki sejati, menjadi pemimpin. Aku membenci sosok ibu, karena bagiku perempuan harusnya tidak seperti itu, meski memiliki gaji yang lebih besar dari suaminya. Tapi aku takut kebencianku pada mereka adalah dosa.
Lalu kini, ketakutan itu datang berkali-kali lipat. Di hadapanku terserak kertas-kertas berisi data seorang laki-laki yang ingin meminangku. Aku takut, takut jika aku menjadi istri, maka aku akan menjadi seperti ibu. Apalagi aku sudah bekerja sangat mapan. Akupun takut suamiku pengecut seperti ayah. Aku takut menghancurkan keluargaku diam-diam.
-depi-
Yogyakarta, 19052016
________________________________________________________
By: Dini
[Lorong Terkutuk]
Ssstttt... Hati-hati kalau berjalan sendiri. Karena siapa tau, ada yang diam-diam mengikuti.
CETARRR!
Bunyi petir menggelegar. Mengagetkan seluruh orang yang tiba-tiba saja menjelma menjadi 'pengunjung' toko baju 'MAHONI'. Aku salah satu dari mereka yang tengah meneduh dari terpaan hujan lebat. Tidak ada yang mau nekat menerobos hujan. Bukan, bukan karena mereka takut kebasahan, melainkan tak siap mental melewati lorong sempit di ujung sana. Apalagi hari mulai gelap.
Cerita tentang lorong sempit di ujung jalan sudah ramai dibicarakan. Jika tidak ingin ada 'tamu' ketika pulang, kita harus menggunakan payung hitam dan permisi saat berjalan. Tak hanya sampai di situ, jika ada sesuatu yang aneh, jangan menoleh. Jika ada barang yang menarik perhatian, jangan dibawa pulang. Pamali katanya. Tabu.
Sudah banyak cerita penampakan-penampakan makhluk tak kasat mata yang nekat menjadi kasat mata. Terlebih jika malam sudah tiba. Jika ada yang melanggar peraturan, jangan harap akan kembali muncul di pintu keluar.
Sebagai orang baru yang tinggal di daerah ini tentu saja aku percaya tak percaya. Tapi demi keselamatan, mencegah lebih baik daripada mengobati kan?
Aku masih menahan diri untuk nekat pulang sampai sudah hampir dua jam menunggu di sini. Telepon genggamku terus menerus berbunyi tanda permintaan klien yang semakin menumpuk. Ketika sudah kuputuskan untuk menerjang hujan, seorang anak kecil menarik bajuku. Menyodorkan payung berwarna mejikuhibiniu. Aku awalnya ragu, tapi setelah kupikirkan banyak sekali dokumen penting yang kubawa akhirnya kuambil juga payung dari bocah itu. Bocah itu mengikutiku di belakang. Hmmm, ojek payung rupanya.
Kami berjalan perlahan.
Cpak...Cpak...Cpak...
Bunyi sepatu di tanah becek menemani kesunyian.
"Namamu siapa?" Aku bertanya pada si ojek payung. Dia hanya meringis.
Ketika tiba di dekat gang kecil sebelah kiri, aku merasa ada mata yang mengamatiku. Hawa dingin menyeruak ke sendi-sendi setiap bagian tubuhku. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba saja...
Splash.
CETARRR.
Bunyi petir diiringi kilat sukses membuatku lari terbirit-birit tanpa ingat bahwa aku tadi bersama si bocah ojek payung.
Aku bernapas lega karena masih bisa selamat di mulut jalan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang tanpa menoleh ke belakang.
Setibanya di rumah, baru aku ingat bocah tadi. Kuputuskan untuk mengembalikan payungnya besok sambil memberi bayaran.
***
Malam semakin larut. Aku masih berkutat dengan tugas-tugas kantor hingga kudapati sebuah ketukan pelan...
Tok...tok... tok...
Bulu kudukku seketika meremang. Aku tidak pernah memiliki tamu apalagi tengah malam begini. Aku pun berpura-pura tak mendengar. Beberapa menit berlalu tenang, hingga ketukan itu muncul lagi...
Tok...tok...tok
Tok...tok...tok
Kali ini suara ketukannya semakin keras. Aku masih mencoba berpura-pura tidak mendengarkan dan tetap fokus pada pekerjaan.
Setengah jam kemudian, ketukan itu terdengar lagi.
Tok...tok...tok...
Kali ini semakin keras dan diiringi bunyi cakaran di tembok depan rumahku.
Krieeeett.
Suaranya membuatku ngilu.
Akhirnya dengan takut-takut kuberanikan diri menuju pintu. Sebelum aku mengintip keluar, kudapati sebuah kertas di bawah pintu. Aku menggigil dan terpaku. Kertas iti bergambar sebuah payung. Bukan warna mejikuhibiniu, melainkan payung berlumur darah yang masih segar.
Dengan sisa-sisa keberanian, kulangkahkan kaki menuju jendela untuk mengintip siapa gerangan di luar sana. Mungkin ini hanya teror orang iseng.
Langkah kaki kuusahakan tidak bersuara sedikit pun walaupun badanku sudah gemetar. Belum sampai lima detik kuintip jendela, secepat kilat wajah bocah ojek payung tadi menempel di kaca jendelaku. Wajahnya sungguh sangat mengerikan berlumuran darah di mana-mana. Sambil kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan, dia meringis. Lalu, tiba-tiba tatapannya menjadi bengis seolah ingin membunuhku saat itu juga. Kemudian, "ARRRRRRRRGGGHRRRRR"
Bocah ojek payung tadi berteriak dengan sangat nyaring membuat aku jatuh terduduk di lantai. Aku terkejut hingga hampir lupa untuk bernapas.
***
Aku baru berani keluar rumah siang terik. Aku ijin kerja. Aku memutuskan untuk menginap di rumah teman kantorku dan membujuknya untuk mengijinkanku tinggal di sana sampai kontrakku habis. Rumahku akan kujual. Aku tidak mau tinggal di sini lagi!
Aku berjalan terburu-buru melewati lorong terkutuk itu dengan wajah sangat pucat. Tiba-tiba di depan toko 'MAHONI', pemilik toko memanggilku.
"Hey, Toni! Kenapa wajahmu pucat sekali? Kemarilah, akan kubuatkan teh untukmu."
Aku yang memang belum sempat makan sejak semalam akhirnya memutuskan menerima tawarannya.
Sambil minum teh dan makan siang bersama John, pemilik toko, aku menceritakan kejadian semalam.
Aku tercengang. Ternyata bocah kemarin adalah seorang bocah ojek payung yang menjadi korban pembunuhan preman setempat di gang kecil lorong sebelah kiri. Pantas saja! Lalu, John pun mengatakan bahwa aku kemarin bertingkah aneh. Menerobos hujan. John memanggilku keras-keras dan mengikutiku dari belakang. Dan aku tanpa sadar mengambil sebuah payung di gang kecil kemarin. Dia memang sudah punya firasat buruk. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan tokonya. John pun bersyukur bahwa aku baik-baik saja karena biasanya korban yang lainnya mendapatkan teror lebih parah. Aku menelan ludah.
Kemudian aku pun berpamitan pada John dan berkata akan segera pindah. Namun ketika aku akan jalan, di kaca tikungan aku melihat bocah itu tengah meringis ke arahku di muka lorong.
19.05.2016
Ara
(Nulisnya sambil tahan napas)
________________________________________________________
By: Nadita
Dia sebenarnya gadis yang cantik, seharusnya. Jika harus menggambarkannya dengan kata-kata, ia adalah gadis yang cantik, aneh dan misterius. Bukan kombinasi kata-kata yang serasi, aku tahu, tapi itulah yang paling sopan yang bisa kulakukan.
Dengan kata lain, gadis itu gila.
Kedua orangtuaku baru saja meninggal dunia, meninggalkanku yang hanya seorang anak tunggal beserta warisan miliyaran rupiah. Otomatis semua perhatian jatuh sepenuhnya kepadaku, keluarga terdekat yang walaupun sama kayanya tetapi hanyalah kumpulan penjilat, yang mengaku teman karena silau harta, maupun pejabat pemerintah yang mengharapkan uang pelicin.
Aku tidak membenci semua perhatian itu, malahan aku sangat menikmatinya. Aku juga tidak bersedih. Untuk apa? Sejak awal mereka yang kusebut sebagai ORANG TUA tidak pernah menjalankan kewajiban mereka sebagaimana orangtua. Jadi mereka tidak perlu protes kan kalau aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai seorang anak?
Setelah membereskan urusan warisan yang membuatku menjadi pemuda milyarder, menghamburkannya bersama mereka yang mengaku teman dan menutup mulut beberapa pejabat, aku mendatangi pemakaman mewah kedua orangtuaku-yang tentu saja aku lakukan hanya sekedar publisitas media. Seorang gadis berdiri di depan nisan makam kedua orangtuaku. Jilbabnya tertiup angin perlahan sementara matanya lekat memandangi tulisan di batu nisan.
"Siapa kau?"
Gadis itu tidak bergeming mendengar seruanku, mungkin tak terdengar karena gemerisik pepohon berbunyi keras.
"Siapa kau?" seruku lagi sambil memegang pundaknya. Perlahan kepalanya menoleh dan kedua matanya menatapku dengan datar. Sesaat aku merasa bulu kudukku merinding tetapi cepat kutepis perasaan itu.
"Siapa kau?!" Aku mulai membentak. Gadis itu menatapku sesaat.
"Hanya kebetulan lewat." Gadis itu menjawab dengan nada yang dingin.
"Kau mengenal mereka?" daguku mengisyaratkan ke arah nisan. Mata gadis itu kembali melirik.
"Hanya yang laki-laki, tapi tidak yang perempuan."
Aku mengerutkan alisku. Well, walaupun aku selalu bersikap kurang ajar kepada orang tuaku, tapi ternyata gadis ini lebih kurang ajar lagi.
"Hee, apa kau simpanan lain dari ayahku? Mau minta uang?"
Gadis itu hanya mendengus, menatapku dengan pandangan menghina.
"Kau mau uang? Memangnya ayahku berhutang berapa kepadamu?"
Gadis itu tidak menjawab, menatapku sekali lagi lalu berbalik pergi. Aku menatap gadis itu dengan heran. Gadis yang aneh.
###
Pertemuanku kedua kalinya dengan gadis itu masih di depan makam kedua orangtuaku. Ia kembali menatap lekat batu nisan tersebut. Heran, padahal tidak ada yang istimewa dari nisan tersebut tapi ia tetap berdiri disana bagai patung.
Aku meletakkan karangan bunga mahal di depan makam mereka, hendak diam sebentar dan hendak pergi lagi. Gadis itu tetap disana, tidak menghiraukan keberadaanku. Aku sudah akan pergi dari tempat itu sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali. Aku berdiri di samping gadis itu, ia mengisyaratkan mengetahui keberadaanku tapi tidak mengatakan apapun.
"Siapa kau? Kenapa kau terus berada di makam ini?"
Gadis itu hanya menghela napas.
"Siapa namamu? Kenapa kau ada disini?"
Untuk pertama kalinya pada hari itu, gadis itu menatapku. Matanya yang berwarna hitam pekat memandangku dengan dingin.
"Sophia. Alasan pribadi."
Aku mengerutkan keningku, mencerna perkataan gadis itu. Astaga, gadis ini sebenarnya malas ngomong atau irit kata sih?
"Sebulan yang lalu kau juga ada disini," gumamku pelan. Sophia mengangguk.
"Kenapa?"
Lagi-lagi terdengar helaan napas. Sophia merasa jengkel, "Urusan pribadi," gumamnya.
Aku terdiam. Setelah diam beberapa lama aku memutuskan pergi dari sana.
"Menurutmu…"
Aku menoleh balik, melihat Sophia telah berjongkok, pandangan mata gadis itu setinggi nisan.
"Menurutmu apakah mereka merasa senang akhirnya dihukum berat dan pedih di dunia sana?"
Gadis ini bicara apa sih?
"Kau mabuk ya? Apa sih-"
"Menurutmu, kalau kau mati suatu saat nanti. Tidakkah kau juga akan dihukum berat?"
Gadis itu bangkit dan melangkah pergi tetapi aku keburu menangkap pergelangan tangannya.
"Apa maksudmu?" tuntutku. Sophia menatapku seakan aku ini orang bodoh.
"Kau tahu kan? Kehidupan akhirat. Tidakkah menurutmu orangtuamu dihukum secara berat di dunia itu?"
"Kau gila!"
Sophia mengangkat bahu, "Mungkin." jawabnya untuk mempertegas pernyataanku. Ia melangkahkan kaki dari area pemakaman tersebut akan tetapi aku lebih cepat. Kembali aku menarik pergelangan tangannya. Pasti terasa sakit sekali karena Sophia langsung menjerit kesakitan.
"Katakan! Siapa kau sebenarnya!"
Sophia hanya menatapku datar.
"Dengar-"
"Pasti enak menjadi anak tunggal, diwariskan miliyaran harta. Ataukah justru sebuah kutukan? Memiliki orang tua yang tidak pernah memberimu kasih sayang?"
Aku berusaha mencerna kata-kata gadis itu benakku lebih penasaran mengenai identitas gadis bernama Sophia ini.
"Apakah kau merasa senang saat mereka berdua pergi untuk selamanya? Karena aku tak pernah melihat rasa sedih di matamu."
Sesaat aku bagai ditonjok dengan keras mendengar kata-kata gadis itu.
"Maksudmu kau merasa bersedih untuk mereka berdua? Bersedih layaknya anak yang berbakti?" Aku tersenyum meremehkan.
Anehnya, gadis itu justru tersenyum, "Tidak, aku justru merasa senang. Terutama-" Sophia menunjuk kearah nisan bertuliskan nama ayahku, "-ketika laki-laki itu mati."
"Aku paham. Pastilah kau salah satu dari wanita simpanan ayahku yang terkutuk itu kan? Pastilah ayahku mencampakkanmu setelahnya." Aku melepaskan cengkeramanku dari pergelangan tangannya dan memandang hina pada jilbab yang membalut erat kepalanya.
PLAKKK
Rasa panas menyebar di pipiku. Kutatap Sophia yang baru saja menamparku, akan tetapi tak ada emosi apapun di wajah itu.
"Rupanya kaupun sama rendahnya dengan ayahmu."
Lidahku terasa kelu.
Sophia melangkah menjauhiku, ia berhenti sesaat.
"Untunglah hukum agama menyatakan bahwa kita tidak memiliki hubungan apapun. Kakak."
Aku tersirap dan menolehkan kepalaku mencari sosok Sophia. Tapi gadis itu telah menghilang dengan cepat.
###
Pertemuan ketiga kami kembali terjadi di pemakaman itu, meskipun telah lewat empat bulan sejak pertemuan terakhir kami.
Sophia kembali memasang wajah datar saat menatapku, sedatar saat ia menatap batu nisan itu.
"Apa maksudmu, kau adik perempuanku?" Aku bertanya dengan cukup hati-hati. Sophia juga sepertinya sudah menduga bahwa pertanyaan ini akan terlontar saat kami kembali bertemu.
"Mungkin."
Aku mengerutkan kening, merasa bingung tetapi tak punya keberanian untuk bertanya.
Sophia menghela napas.
"Kau sendiri yang mengatakannya kan? Ayahmu memiliki banyak wanita simpanan."
Sampai disini aku bahkan tak berani bernapas.
"Ibuku adalah salah satu wanita simpanan ayahmu. Membuat ibuku hamil dan akhirnya melahirkanku."
"Lalu apa kau-"
"Simpan saja hartamu. Aku tidak tertarik pada uangmu."
Hening kembali tercipta. Sophia kembali memandang langit berawan mendung. Sepertinya sore ini akan hujan.
"Saat umurku lima tahun sepertinya terjadi perselisihan antara ibuku dan ayahmu. Mereka bertengkar dan ayahmu…"
Sophia menggantungkan ceritanya tapi tidak pernah meneruskannya. "Ibuku mati setelah pertengkaran itu dan aku diasuh oleh panti asuhan."
Aku tidak berani bersuara. Aku tahu ayahku itu memang bejat, tapi aku tak menyangka ternyata ayahku itu telah sebegitu "tenggelam".
"Dan kau datang kesini?"
"Awalnya untuk memastikan, apakah ia benar-benar telah meninggal? Dan aku akan berdiri di depan makamnya, mencemoohnya, menertawakan keadaannya yang mungkin dihukum secara kasar dan pedih di dunia sana."
Aku kembali terpaku. Memandang nisan itu dan mencerminkannya dalam hidupku.
"Menurutmu apakah dia dihukum berat didunia sana?"
Aku mengangguk pelan. "Ya, pastilah ia dihukum berat di dunia sana. Pasti."
Sophia berjongkok dan tertawa pelan. "Syukurlah."
Suasana kembali hening. Aroma hujan mulai tercium.
Sophia mengulurkan tangannya, menyapu nisan yang bertuliskan nama ayahku.
"Bagaimanapun juga ia adalah ayahku."
Aku melirik Sophia yang telah menutup matanya, berdoa. Air mata mengalir pelan dari pipinya. Aku berpura-pura tidak menyadarinya.
###
Dia sebenarnya gadis yang cantik, seharusnya. Jika harus menggambarkannya dengan kata-kata, ia adalah gadis yang cantik, aneh dan misterius. Bukan kombinasi kata-kata yang serasi, aku tahu, tapi itulah yang paling sopan yang bisa kulakukan.
Dengan kata lain, gadis itu gila.
Dan gadis gila itu adalah adik perempuanku.
________________________________________________________
By: Muhamad Abdul
[ Ada Tuhan Dalam Cinta Sejati ]
Mungkin saat ini aku tak lebih dari selembar kertas. Putih,polos dan hampa.
Aku tak lebih dari sekedar ikan hias yang sendiri di aquarium. Jenuh dan kesepian.
Aku tak lebih dari sekedar pohon yang hidup di tanah tandus. Kering dan tak di minati untuk berteduh.
Aku tak lebih dari sekedar awan kelabu setelah badai. Aku tak lebih dari sekedar handphone tanpa bantra. Aku tak lebih dari sekedar kamera tanpa lensa . Dan aku tak lebih dari sekedar rumah tanpa penerangan.
Ketika rasa kehancuran datang saat melihat kekasih yang di cinta telah pergi kepelaminan bersama yang lain. Saat itu lah kenyataan datang membawa frustasi yang mendalam.
Aku tak pernah terfikirkan sebelumnya akan bisa jadi seperti ini. Disaat satu tahun Enam bulan lamanya aku menjalin hubungan dengan berjalan selaras dan terlihat baik-baik saja. Seketika semua itu hancur dalam waktu satu hari saja. Hari dimana kabar tersebar dan undangan pun datang jelas di hadapanku.
" Jangan selingkuh! Jangan menel! Jangan tinggalin! Jangan macem-macem! . Bullshit. Kosong semua omongan lo! " ucap ku padanya dalam telephone singkat.
Aku tak mampu berbuat apa-apa lagi saat itu. Yang aku lakukan hanya diam,murung dan bahkan menangis sedirian di dalam ruang kamar yang gelap. Aku mampu menahan rasa sakit dari luka jika tarjatuh dari kendaraan dan yang lainnya. tapi tidak untuk yang ini. Aku mampu menahan tangis dikala masalah silih berganti terus menerus melilit. Tapi tidak untuk ini.
Saat itu. sahabatnya. Keluarganya Dan begitu pun dirinya.
Layaknya guntur di kala badai. Fikiran ku selalu menggelegar keras untuk menyalahkan rasa kekecewaan cinta ini kepada merek. Dan bahkan untuk membenci mereka.
Namun seiring waktu berjalan. Sepertinya aku harus berfikir kembali.
Kebencian mungkin akan terjadi. Tapi kebencian bukan penyelesai masalah yang abadi. Balas dendam juga pun mungkin bisa terjadi. Tapi,balas dendam bukan penyelesai masalah yang tepat.
Ya,mungkin itu yang aku harus terapkan dalam ediologi ku .
Dan hari ini. Aku akan coba pasrahkan semua pada tuhan. Karna aku yakin pasti. Ia (Tuhan) takan pernah tidur.
Aku percaya Tuhan telah membuatkan aku sekenario yang indah untuk keluarga kecilku di masa depan.
Aku percaya Tuhan telah memilih kan aku satu dari sekian miliar wanita terbaiknya untuk selalu aku imami kelak di kehidupan sementara,mau pun di keabadian.
Dan aku pun sangat percaya. Karma itu tidak akan pernah ada. Karna yang ada iyalah. Allah maha adil.
#MalamNarasiOWOP
- Muhamad abdul ag -
18-05-16.
________________________________________________________
By: Roida
Saat Kumelihatmu
Kadang entahlah saat kumelihatmu. Dalam balutan kesederhanaan, dirimu tampil begitu memukau. Aku tidak menghitung berapa banyak anak panah yang kau tembakkan ke hati tiap orang yang terjerat pandangan bola mata ambermu. Jika kau menunjuk aku salah satu dari pemilik hati itu, maka kau benar. Ya, aku sadar bahwa aku sudah terikat oleh tarikkanmu yang memikat.
Apakah kau masih ingat saat pusaran mendung yang memilukan tiba-tiba hadir mengepungmu? Dengan senyum menawan kau menyambut mentari yang berselimut kelabu, meski kutahu senyummu itu masih terlalu getir untuk dicecap oleh si pecinta manis. Aku tahu, kau berpura untuk mencipta lengkung pelangi di antara padatnya awan kelam yang mendengungkan sendu di sekelilingmu. Aku paham dengan sepimu, tapi aku tak ingin merusak peranmu di panggung itu. Kau semakin menawan karenanya.
Dirimu terlalu enggan untuk teteskan air mata. Bagimu, berdiri tegak dan sedikit dongak adalah salah satu cara untuk membuka tabir kelam. Kau ingin meraup langit biru cerah yang melukiskan gembira di netramu. Meski harus abai dengan cerita lalu dan bahkan kau melupakannya, aku tahu kau hanya ingin mengisi sela hidupmu dengan rasa tegar yang membumbuinya.
Kadang entahlah saat kumelihatmu. Kini aku tak tahu bagaimana binar ambermu memandang dunia, karena yang kulihat setelah kelabu buram terusir darimu adalah tampilan siluet punggungmu yang lebar. Kau terus membelakangiku, melangkah semakin jauh dan terus menjauh. Kuyakin sepertinya kau terlupa tentangku.
Nida Roidatu Muniroh
18.05.16
#MalamNarasiOWOP
________________________________________________________
By: Dyah
Gadis Berwarna.
Aku bukanlah manusia yang mencintai warna-warni. Tapi aku hanya mencintai warna hitam. Ya, hanya hitam. Entah kenapa, rasanya hitam sudah mewakili keadaanku juga perasaanku. Mungkin karena sifat anehku ini sehingga banyak teman-teman yang menjauhiku. Tidak apa, aku juga tidak peduli mereka.
Suatu ketika, aku tidak sengaja bertemu dengan seorang gadis berpayung warna-warni. Dia mudah tersenyum. Aku benci melihatnya. Tapi aku tak bisa menghindar. Pasalnya dia selalu ada di saat aku pun ada. Aku bahkan tidak tahu kenapa gadis itu hadir di setiap hariku.
Sampai kutahu keadaan gadis itu. Dia lebih buruk dariku. Nyawanya diambang kematian. Dia sakit, kanker stadium empat. Tapi dia masih menikmati hidupnya bahkan tersenyum kepada semua orang yang dikenalnya.
Aku iseng bertanya padanya, "Hey, kau sedang sakit bukan? Lalu kenapa kau masih menyukai warna-warni? Bukankah akan lebih baik kau menyukai warna hitam? Seperti hidupmu yang sebenarnya kelam." entah kenapa aku bicara hal seperti itu padanya.
Dia terdiam dan senyumannya sesaat menghilang. Dia menatapku tajam, "Jika aku sakit, apa aku harus menjadi seseorang yang kelam? Tidak. Dengan waktu yang tersisa, aku akan menikmati hidup yang hanya sekali ini. Aku memang sedih, hatiku hancur saat kutahu diriku mengidap kanker stadium empat. Tapi aku selalu menghibur diriku juga sekelilingku. Orang-orang yang menyayangiku harus tahu, aku masih bahagia dalam kondisi apapun." sahutnya mantap.
Aku terkejut mendengarnya. Sejurus kemudian, aku paham. Kenapa gadis itu selalu memakai payung warna-warni meski hujan tidak turun. Dia hanya ingin menorehkan segala keindahan di atas kesedihan. Dia menyingkirkan payung-payung hitam di sekelilingnya. Berharap dia mampu menyingkirkan kesedihan yang mengelilinginya dan mengubahnya dengan senyuman bahagia. Gadis itu gadis berwarna. Gadis yang tidak ingin bersedih dan berusaha tersenyum. Kuakui, dia gadis perkasa. Bahkan sampai dia meninggal. Sosok dirinya yang bahagia masih berbekas di setiap hati orang-orang yang mencintainya.
-Dyah Yuukita-
#MalamNarasiOWOP
________________________________________________________
By: Doddy
[Melawan Hujan]
Aku dan kamu masih percaya bahwa kebahagiaan itu bukan tumbuh setelah hal-hal menyedihkan terjadi. Seperti kehilangan. Kehilangan diri sendiri.
Aku pernah mengalaminya beberapa tahun silam. Ya, aku kehilangan diri sendiri karena kehilanganmu. Dan aku tidak menemukannya di manapun. Di puluhan film yang kutonton, puluhan buku yang kubaca maupun ratusan kalimat yang kutulis. Hujan yang katamu mengantar banyak kenangan berubah menjadi mimpi buruk setiap ia datang. Aku menggigil karena rindu yang kandas tak menemukan labuhan. Aku tenggelam dalam lautan manusia yang berpikiran sama tentang cinta. Mereka punya pemikiran,
"Kamu pasti akan mendapat penggantinya yang lebih baik lagi."
Menemukanmu lagi di raga yang lain bukan perkara mudah, aku enggan membandingkanmu dengan seseorang yang baru. Mungkin kami akan mendatangi tempat yang sama yang pernah kita kunjungi. Tapi itu akan terasa berbeda, aku mulai mengumpulkan kenangan-kenangan yang seharusnya kuhapus sejak lama. Lagu kesukaan kita mengalun dari pengeras suara, aku menggamit kedua tangannya. Aku berpikir, dia bukan kamu. Lagu-lagu itu mengantarkanku pada rambut dan matamu bukan kepada wajahnya. Kepada senyummu yang berbeda dengannya; senyum dua jari yang menawan.
Hujan pengantar mimpi buruk selalu hadir tepat waktu ketika malam akhir pekan. Aku masih berdiri di bawah kerumunan orang yang berpikiran sama, bahwa ketika kehilangan orang yang kita cinta, maka segera cari penggantinya. Hujan tak seindah masa silam, di mana kita saling berkejaran, membuat kenangan, melawan hujan.
Aku ingin kita melawan hujan walau kita tak lagi berdiri berdampingan, melupakan luka hingga reda.
(Doddy Rakhmat)
18.05.2016
#MalamNarasiOWOP